Pernah merasa hanya "menjadi bayang-bayang" dalam satu kehidupan kelompok (politik)?Â
Entah karena peran yang kecil bahkan tidak kelihatan di satu lingkungan pergaulan dengan satu karakter yang dominan. Entah karena secara sengaja diposisikan sebagai terlihat tidak memiliki peran apa-apa. Entah karena ingin terlihat ada tapi tidak tahu dengan cara yang bagaimana.Â
Lalu, kau menjadi muak dan ingin melawannya?Â
Saya pernah bertemu jenis yang seperti ini. Tidak banyak, memang. Sebab itu juga catatan ini hanyalah kasus.Â
Sebenarnya, dalam kehadirannya, orang yang ingin keluar dari bayang-bayang ini tidak benar-benar diposisikan tanpa peran. Kehadirannya bahkan membangun sejenis peran yang diinginkan; "ideal" yang diidam-idamkan.Â
Sampai ada jiwa-jiwa rindu pegangan yang berusaha menyalintempel dengan cara yang menggelikan. Kata orang-orang Zaman Pergerakan, jenis salin tempel yang mengambil abu, bukan apinya.Â
Tapi, di hari marak dagang sensasi begini, seberapa teliti kita membedakan mana abu, mana api?Â
Masalahnya bagi jenis yang "menolak menjadi bayang-bayang", apa yang dilakoninya itu bukanlah sesuatu yang akrab dengan kamera, akrab dengan "pengakuan orang banyak". Ini menyakitkan.Â
Saya terus curiga, tidakkah motif ini mungkin berakar dalam sejarah diri yang akrab dengan penghinaan? Tidakah juga memiliki akar dari kultur yang selalu ingin menjadi pemenang? Yang jelas, tidak ada kamus bagi nomor dua apalagi sekasta orang-orang kalah.Â
Pokoknya, tidak ada toleransi bagi bagian dari yang tidak dianggap, tidak disorot, tidak disebut sebagai sosok yang bla..bla..bla..Â