Kerja intelijen adalah kerja yang sepi - pesan ayahnya Eva Geller, dalam Messiah Session 1
Setelah sedekade dari penayangan Bad Boys II (2003), sekuel ketiga bertajuk Bad Boys For Life akhirnya tayang. Berbiaya produksi sekitar 1,26 trilyun rupiah, film ini tidak menggunakan sentuhan Michael Bay. Mengapa harus langsung menyebut nama ini?Â
Tidakkah Will Smith dan Martin Lawrence cukup sebagai garansi mutu atau pelepas kangen?Â
Michael Bay, saya kira, adalah tipikal sutradara yang berselera tinggi dengan visual effect- kekuatan yang sangat penting bagi jenis film action yang akhirnya tidak memberi sudut pandang atau pengalaman baru.Â
Bay adalah sosok yang terlibat dalam Armageddon (1998) dan Pearl Harbor (2001) yang keduanya masuk nominasi Oscar untuk Best Visual Effect walau kalah. Selain itu, lelaki kelahiran Los Angeles 1965 ini juga terlibat dalam franchise Transformers yang visualnya mengagumkan. Lebih lengkapnya, film-film besutan Michael Bay bisa dilihat di TV Guide.Â
Karena itu juga, bagi mereka yang merindukan bagaimana tertib hukum dipulihkan dengan cara-cara keras dan antiprosedural, yang tampak di layar bioskop hanyalah aksi baku pukul, tembak-tembakan dan kejar-kejaran yang begitu-begitu saja.Â
Dalam kata lain, film seperti begini hanya menegaskan jika jagoan tetaplah jagoan, sesepuh apapun mereka.Â
Waktu tidak mengubah apa-apa. Hanya ada rolling penjahat dengan takdir yang sama.Â
Pertanyaan selanjutnya, jika konsepsi ceritanya hambar--katakan saja begitu--ditambah visual effect datar, lalu apa yang menyelamatkan film berdurasi 124 menit ini?Â
Saya ingin memulai dari mengurai ide pembalasan dendam yang berkelindan dengan cinta yang ambyar.