Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pembuktian Matthijs de Ligt dan Jalan Penderitaan Juventus

27 November 2019   11:11 Diperbarui: 27 November 2019   19:26 612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketika Anda tiba di klub sepenting Juve, maka selalu ada tekanan, namun saya tidak akan ada di sini jika saya tidak bisa mengatasinya. Saya harus beradaptasi dengan sistem baru, namun saya puas dengan segalanya yang terjadi." - Matthijs de Ligt

Juventus tidak menang besar tadi subuh di Lo Stadium. 

Itupun dari gol semata wayang tendangan bebas Dybala. Jenis tendangan bebas dari "sudut yang mustahil". 

Walau dari statistik keseluruhan pertandingan, WhoScored mencatat jika total umpan yang dilepas Bonucci, dkk adalah sebanyak 667 kali dengan 90%-nya adalah short pass. Ini hampir dua kali lipat dari yang dilakukan Morata, dkk. 

Termasuk di dalamnya, 87% melakukan umpan yang sukses, 2 shots on target dan 12 dribbles won. Toh, Juventus gagal bermain menyerang terutama sesudah turun minum.

Di sisa 45 menit kedua, mereka dikepung dari segala penjuru. Atau dalam bahasa Antonio Conte, Juventus dipaksa menderita hampir sepanjang paruh kedua di hadapan agresivisme pasukan Simeone.  

Sang Nyonya Tua yang mestinya menjaga kontrol sebagaimana di babak pertama gantian bermain defense layaknya tim tamu.

Lalu apa yang menarik dari kondisi di atas jika Juventus tetaplah wujud Italia yang dihidupkan oleh filosofi Catenaccio? 

Jika kita menyebutkan filosofi bertahan ini dengan mengabaikan intensitas yang tinggi dari umpan pendek sebagai bukti nyata bekerjanya Sarriball maka Juventus masihlah isi usang dari cangkang yang berkilau.

Ternyata, akumulasi statistiknya mengatakan tidak. Dan, Juventus tetap tidak kehilangan soliditas gerendelnya.


Dengan kata lain, Sarriball sedang mewujudnyatakan diri dan, yang paling penting bagi apalah saya ini, kapasitas bertahan Juventus tidak lenyap. 

Ada transisi yang tengah di jalurnya sesudah pekan-pekan yang mengelus dada. Khususnya jika melihat barisan belakang sepeninggal Chiellini yang cedera. 

Kapasitas bertahan yang sempat membuat hati berdebar-debar di awal musim itu bisa dikatakan karena organisasi kerja yang masih mengadaptasikan diri dan "individual errors" yang bikin ucapan aneh begini keluar: "Ih, kok bisa sih?" 

Kesalahan-kesalahan yang membuat kemenangan Juventus dan keputusan wasit tidak pernah bisa bebas dari percakapan-percakapan tentang skandal dan operasi mafia sekalipun VAR telah bekerja. 

Maksud saya, kesalahan individual berupa handsball berkali-kali di kotak 16 yang dilakukan bintang muda Belanda penerus nomor Montero, Matthijs de Ligt. Cedera sang Kapten Chiellini yang mestinya menjadi keberuntungan bagi mantan kapten Ajax ini ternyata tidak berlangsung seketika. 

Sekurangnya hingga pekan ke 12, de Ligt adalah sorotan dari lubang di pertahanan itu. 

Spekulasi berkembang, harganya yang mahal mulai dikait-kaitkan dengan kontribusinya di salah satu tim dengan sistem bertahan terbaik di dunia. Tim yang pernah dihuni nama-nama selevel Cannavaro, Thuram, Montero, Zambrotta, Ferara, hingga generasi Chiellini-Bonucci. 

Patrick Kluivert, legenda Ajax bahkan sampai memberitahu jika de Ligt sedikit menyesali keputusannya ke markas Juventus Stadium. 

Tapi, saya adalah segelintir dari yang merasa lebih berfaedah melihat transformasi de Ligt. 

Bukan saja dalam perkara mengambil alih kepemimpinan generasi pemain belakang sesudah Bonucci-Chiellini kelak. Lebih dari ini, berkembang menjadi salah satu bek terbaik di dunia sebagaimana keyakinan Bonucci kepadanya. Sebagaimana keyakinan para seniornya di Hollandia sono.

Sejarah de Ligt jauh lebih menarik diperhatikan ketimbang rekor-rekor CR7-misalnya: pada subuh tadi, laga melawan Atletico Madrid adalah penampilan ke-175 Ronaldo di Liga Champions. 

Jumlah itu membuat Ronaldo kini tercatat menjadi pemain kedua dengan jumlah penampilan terbanyak di Liga Champions sepanjang sejarah.

Mengapa begitu dan tidak begini?

Sebab de Ligt adalah anak muda dengan mentalitas pemimpin yang juara. Periksa saja penjelasan tentang kualifikasi mental unggul ini dalam artikel Matthijs de Ligt dan Juventus Mazhab "Sarriball". 

Tadi subuh, mantan kapten termuda Ajax Amsterdam ini mulai menampilkan diri bakal mewarisi jejak kesuksesan sesudah kegemilangan trio Basten-Gullit-Riijkard. 

Kita melihat Matthijs de Ligt yang bermain dengan tertib dan hampir tanpa kesalahan. Tak ada lagi blunder handsball. Tak ada lagi lubang karena miskoordinasi atau pelanggaran tak harus di depan gawang yang membuka peluang gol bagi Atletico Madrid. 

Terlihat jika de Ligt bermain disiplin dan tenang. 

Tak cuma itu, ia pun sukses mematikan pergerakan Morata, sang mantan yang pernah begitu mematikan dengan seragam Hitam-Putih dan nyaris bikin gol di laga ini. 

Dan, saya kira kita bisa bersepakat bahwa aksinya yang paling keren adalah ketika bergerak cepat ia mem-block peluang Angel Correa yang sudah tinggal berhadapan dengan Szczesny. 

Ia telah belajar dari kesalahan-kesalahan dan menjadi berkelas sebagaimana yang diharapkan pecinta Juventus.

Szczesny sampai harus memeluknya, di antara berterimakasih atau memuji kegesitannya menutup ruang. Pun Sciglio. Dus, hasil imbang berhasil dihindarkan dan Nyonya Tua mantap lolos ke babak gugur. Bravo de Ligt!   

Tentu saja kesolidan lini belakang Juventus kali ini tidak disebabkan aksi menonjolnya. 

Dalam statisktik paska-laga, WhoScored mencatat jika empat pemain yang menempati "Top Performers" adalah pemain bertahan: Matthijs de Ligt, Danilo, Mattia de Sciglio dan tentu saja Wojciech Szczesny. Hanya Bonucci yang underperform.  

Dengan kata lain, performa maksimal ini rasanya juga membuktikan jika Sarriball telah menemukan keseimbangan bertahan yang dalam pembukaan musim masih dalam pencahariaan bentuk. 

Sebagaimana dikatakan de Ligt di atas, adaptasi dengan sistem baru masih bekerja dan level bermain masih terus ditingkatkan.

So, jika dipaksa bertahan adalah jalan penderitaan dalam laga sepak bola, maka de Ligt telah menunjukan dirinya adalah bagian dari yang akan mengatasi jalan seperti itu. Gak kayak kamu!

Lhoo?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun