Rahayu adalah perempuan muda yang menanggung dendam dari cinta segitiga Donowongso, Shinta dan Saptadi. Lalu Nyi Misni, neneknya sendiri yang juga adalah korban dari cinta segitiga dari ayah Donowongso, seorang yang sangat kaya di desa mereka.Â
Jadi, antara Saptadi dan Rahayu ada garis darah yang sama: anak dari hubungan terlarang. Keterlarangan yang menjadi asal-usul kutukan yang memangsa satu desa.
Misni tidak pernah ingin ada Rahayu yang merupakan pengulangan kisah Saptadi. Ia mengutuk Rahayu sejak dalam kandungan melalui semacam ritus santet. Tapi Rahayu bisa lolos karena tumbal tiga anak perempuan yang kulitnya dijadikan bahan pembuat wayang oleh Danowongso. Rahayu selamat karena dilarikan ke kota.Â
Saptadi yang patuh pada ibunya meyakini betul jika usaha membebaskan warganya dari kutukan adalah dengan menumbalkan Rahayu. Hiiih!
Lantas, menurut engkau, manusia mana yang tetap bisa menjaga kewarasan di tengah pengulangan peristiwa tragis begitu?
Warga desa, dengan jiwa kekerabatan yang kental--dengan kepatuhan-kepatuhan pada kekuatan yang mengekspresikan kharisma mistik yang kuat, dengan kehidupan yang terpencil dan cenderung terisolir dari hiruk pikuk kota-yang masih mungkin mengatasi keadaan tragis seperti itu dengan tetap merawat pikiran-pikiran rasional-sekurangnya menyelidiki kemalangannya adalah kedok dari konspirasi untuk memelihara kuasa tertentu?
Demikianlah Perempuan Tanah Jahanam memberi kita konteks sosio-historis dari horor yang meletakan cinta, dendam dan perempuan di jantung konfliknya.
Lalu, bagaimana arus tragik seperti ini dibalik oleh Rahayu?Â
Rahayu yang tampaknya telah ditempa oleh kerasnya hidup jelata di perkotaan tidak mengaktivasi kesadarannya dengan narasi horor yang sama. Sebagaimana Dini, motif mereka hanya ingin menyelamatkan diri dari kemiskinan.Â
Lalu ketika horor dari kutukan itu mulai bekerja, memangsa Dini dan memburunya, Rahayu tidak benar-benar sendiri.Â
Selalu ada orang yang berusaha waras di tengah kemarahan massa atau lebih persisnya keberserahan di depan nasib malang. Berusaha tidak ikut larut dan membabi buta menyalahkan itu sebagai kutukan. Orang itu Ratih, perempuan terakhir yang memilih tidak membenci Rahayu.Â