Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Bumi Manusia" dalam Tiga Perempuan

15 Agustus 2019   22:24 Diperbarui: 17 Agustus 2019   10:43 3071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penonton Bumi Manusia serempak berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya bersama | Dok. Pribadi.

Selanjutnya, ketika ketegangan mulai pecah bersama bermacam-macam motif yang akarnya berakar pada relasi penjajah terjajah, saya kira Hanung termasuk sukses merawat kemarahan dan kesedihan yang mewakili orang-orang yang terpaksa harus kalah. Termasuk kemarahan pribumi yang dilecehkan, seperti ketika Herman Mellema memaki Minke yang disebutnya monyet yang tak pantas berada di meja makan bersama meraka.

Atau ketika, adegan yang paling membuat mendidih adalah saat pengadilan khusus pribumi dimana Minke memulai perlawanan dengan artikel-artikelnya. Persidangan atas kematian Herman Mallema yang diracun. Nyai Ontosoroh harus membuka sendalnya, berjalan jongkok, duduk di lantai dan dilarang berbicara dalam bahasa Belanda. Sedang para hakim dan pembesar birokrasi kolonial duduk di atas kursi dengan angkuhnya. 

Seorang perempuan pribumi gundik yang bekerja untuk menjaga hidupnya dilecehkan oleh persidangan kolonial yang dikendalikan kuasa laki-laki sembari memuja-muja rasionalisme dan kemanusiaan sebagai poros dari kehidupan modern itu sendiri.

Sama kejadiannya saat persidangan yang menetapkan status Annelies. Persidangan yang merampas Annelies dari Minke. 

Tuan-tuan Belanda kolonial itu duduk di atas kursi yang nyaman dan Nyai Ontosoroh harus bersuara dari lantai. Tak ada ruang bagi negoisasi apalagi keadilan, hukum Belanda atas tanah koloni adalah mutlak dan berlaku untuk menjaga kemurnian rasialnya. 

Di sini, sekali lagi, kita melihat ibu atau perempuan yang berjuang merebut hak dan martabatnya. 


Ibu, ibu, ibumu!

Minke memang dilukiskan murid Barat yang kritis, memiliki nyali melawan dengan mesin tik dan artikel-artikelnya yang mengguncang alam kesadaran tuan kolonial dan jelata terjajah. Tak sampai di situ, tulisan-tulisan itu sukses memobilisasi perlawanan saat Minke dan Nyai Ontosoroh berusaha menyelamatkan Annelies. Minke yang priyayi memang cukup terlihat sebagai "persilangan radikal dari feodalisme Jawa dan arus awal modernisasi". 

Tapi, bagi saya, Bumi Manusia ditangan Hanung dan Salman Aristo (penulis naskah) bukan tentang bagaimana intelektualisme Minke yang progresif itu berkembang dari benturan-benturan antara tradisi dan modernitas. Walau terasa dalam kadar yang background, ini juga bukan pula tentang kritik terhadap narasi-narasi absurd perihal kemurnian pribumi dan privilise yang harus dimilikinya, seperti jamak hidup dalam politik identitas. 

Benar bahwa di bagian terakhir, ada scene yang menghadirkan ketegangan antara hukum Islam dan hukum Belanda terkait status Annelies sebagai istri sah Minke, itu kemudian bermutasi menjadi pertarungan antara kuasa penjajah dan perlawanan pribumi. Ada transformasi kesadaran dari kontra-posisi yang agama versus yang sekuler kepada yang menindas dan tertindas. Tapi, rasa-rasanya, ini hanya panggung dari tiga dunia yang menjadi porosnya.     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun