Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Bumi Manusia" dalam Tiga Perempuan

15 Agustus 2019   22:24 Diperbarui: 17 Agustus 2019   10:43 3071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penonton Bumi Manusia serempak berdiri dan menyanyikan Indonesia Raya bersama | Dok. Pribadi.

Bumi Manusia dimulai dengan lagu Indonesia Raya dan ajakan untuk berdiri dan bernyanyi. Semua orang berdiri bernyanyi. Ada perasaan aneh yang menyergap tapi sebentar saja. Saya terus larut dan merasa atmosfir patriotik memenuhi seluruh ruangan yang tak penuh. Ini bulan delapan, dua hari sebelum tanggal tujuh belas.

Suara serak Iwan Fals yang menyanyikan kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati menambah tebal atmosfir itu. 

Sebuah "pengkondisian" yang mulus, saya kira. Memilih tayang di bulan kemerdekaan adalah opsi yang jitu untuk menyampaikan Bumi Manusia ke masyarakat gawai. Masyarakat yang perlu tahu asal-usul kesadaran kosmopolitan Minke di tanah koloni Hindia Belanda. 

Riwayat Minke, penerus trah priyayi Jawa dengan pergulatan di hadapan fase pertama kapitalisme merkantilis ke negeri-negeri di Timur Jauh. 

Saya kini masuk ke dalam film. 

Pertama-tama adalah menikmati panorama zaman kolonial. Orang-orang, pakaian serta percakapan-percakapan yang bercampur antara bahasa Belanda, Jawa dan Indonesia. Ada Belanda, Priyayi dan Jelata. Bumi Manusia yang masih menegakkan batas-batas rasial dan kontrol yang menegaskan hirarki antara tuan penjajah, kaki tangannya dan  manusia pribumi yang hidup sederhana.  Saya dapat auranya.

Seterusnya, dalam konteks karakter tokoh, saya melihat Minke yang sesekali mereproduksi bahasa tubuh Dilan. Sebagian besarnya saya kira harus takjub di depan Annelies dan ibunya yang kali ini sukses memancarkan "kualitas diri". Annelies yang lembut lagi rapuh serta Nyai Ontosoroh yang ayu dan tegas. Karakter mereka hidup dalam diri Mawar Eva de Jongh dan Sha Ine Febriyanti.

Tapi tak cuma itu. 

Ibunda Mike adalah karakter yang tidak bisa diabaikan walaupun alur bukan bagian dari poros konflik. Saya bukan saja terdiam manakala Minke dan ibunya berdialog sesudah kepulangan Minke menjelang pengangkatan ayahnya menjadi bupati.  Ibu yang berpesan agar Minke tetaplah menjadi seorang Jawa yang fasih sedalam apapun dia mengalami Barat sebagai arus peradaban modern. Kira-kira begini kalau kita bahasakan dalam terminologi antropologi. 

Saya hampir meleleh, hiiks. Ayu Laksmi berhasil menjadi ibu Minke yang lembut dan penuh kasih sayang. Ibu yang di balik kuasa ningrat nan feodal, memiliki pikiran yang lebih berani mengalami resiko-resiko dari modernisasi. Kasih sayang abadi miliknya tetap melantun doa kebahagiaan bagi anaknya sekalipun pilihan dan jalan sejarah membuatnya tumbuh berbeda dari yang dibayangkan. 

Dan ini bukan hampir meleleh satu-satunya, kawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun