Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

#GueKompasianer, Pasca-Pilpres dan Ikhtiarnya

1 Juli 2019   13:26 Diperbarui: 1 Juli 2019   18:59 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah pemberian dan hal-hal yang bersembunyi di baliknya.

Saya akhirnya menerima pemberian yang dinanti-nanti selama sebulan. 

Saya memenangkannya dari even yang Give Away edisi ke-2 yang dibikin akun twitter Kompasiana. Kemenangan yang tidak sebatas menyingkirkan para pemburu hadiah, namun juga terjadi karena menyeret tiga nama kompasianer beken. Tiga nama dimana dua yang disebut belakangan kini lebih sudi membiarkan lapaknya hidup di masa lalu.  

Mereka adalah, mari kita sebut dengan hormat, bapak Prof. Pebrianov, kakak Dkil Difa, dan mas Joko P. 

Pemberian berupa topi rimba seperti ini jelas bukan barang yang unik, terlebih dibuat sebagai edisi terbatas. Seperti jam atau mobil mewah yang diniatkan hanya kepada Cristiano Ronaldo. Dia bisa diperoleh dimana-mana dengan mutu yang lebih bagus, lebih branded. 

Pun dengan tagar #GueKompasianer, saya bukan seorang diri atau hanya lapisan kecil yang dikhususkan. Itu bukan tagar yang elitis. Sama halnya jika merujuk pada usia aktif berkompasiana, usia yang produktif, saya juga tidak menjadi bagian dari mereka yang segelintir saja. 

Saya adalah keumuman dengan minat yang pasang surut terhadap (kritik) politik dan ideologi, budaya layar (film), ironi selebritisme atau gaya hidup yang berjangkar dalam hiruk pikuk ruang budaya urban. 

Bahkan ketika lapak saya dipenuhi oleh narasi fiksi yang berkubang dari kegelisahan warisan Joko Pinurbo (seperti dalam video di sini), itupun dengan derajat pasang surut yang tidak berbeda jauh. Bahkan ketika monetisasi artikel diberlakukan, pasang surut itu tak juga berkurang (justru makin terancam, hihihi). 

Singkat cerita, semua ini menandai perjalanan 6 tahun yang angin-anginan mengelola produktifitas. Kondisi yang membuat #GueKompasianer perlu dipercakapkan lebih dalam lagi. Sekurang-kurangnya, jika padatkan kedalam "kalimat paradigmatik", maka akan terbaca:

Dalam pasang surut produksi yang "narasi Beyond Blogging", bagaimana ikhtiar menjadi Kompasianer bisa didaku sebagai kewargaan yang berbicara? Kewargaan yang terlibat dalam menyehatkan percakapan publik manakala produksi hoaks seolah menjadi keniscayaan dari pertarungan kecepatan dan kapitalisasi, misalnya? 

Atau, bagaimanakan narasi Beyond Blogging boleh menahan laju polarisasi sosial buah dari kontestasi wacana politik elit yang telah mengawetkan ketegangan harian "orang-orang yang berada di pinggiran jalan" kekuasaan-misalnya?

Pertanyaan dengan intensi yang serius seperti ini memang seharusnya diletakkan sebagai parameter diri. Menjadi motif, daya dorong psikologis atau "kehendak mengada" di jagad produksi narasi Kompasiana yang tentu saja tidak berdiri sendiri sebagai ruang bagi suara kewargaan. Digitalisasi telah menciptakan kompetisi narasi dimana kepakaran (expert system) diguncang.

Hal mana makin diperkuat oleh faktualitas yang telah jamak disebut jikalau di tengah dunia yang serba bercampursari dan mengguncang segala sesuatu yang menjadi rujukan (entah moral, pengetahuan atau "citra diri ideal"), kesadaran yang enggan melatih diri luwes dan belajar melihat secara berlapis, sepertinya akan menjadi kawananan yang hilang. 

Dalam wujud yang lain, menjadi diri yang kaku dan lekas mengutuk, mengalami ekslusivisme yang xenophobik. Menjadi manusia antihistoris, menderita kecemasan berlebih dan kehilangan kapasitas mencandrai kemungkinan melampauinya. Diri yang negatif, yang tak mampu mengelola impor kehampaan.

Walau begitu, sampai di sini, artikel pendek ini bukan tentang seperangkat anjuran moral atau resep bertindak. Termasuk juga bukan refleksi yang menyeluruh tentang dunia dalam digitalisme (entah karena dilipat atau karena terdampak tumbal-tumbal modernitas) seperti apa yang menuntut kewaspadaan naratif dari posisi wicara warga. 

Tulisan ini hanya satu peringatan diri (yang berulang) dari pasang surut yang telah tergambarkan di atas. 

Dalam pada itu, hanya kepada usaha merumuskan kembali kebutuhan untuk bernarasi. Dalam konteks yang sempit, yang bergerak di depan mata adalah kebutuhan bernarasi dimaksud berada dalam tegangan jejak-jejak polarisasi politik yang masih saja menajam serasa kerikil di musim kemarau. Suatu kebutuhan yang diandaikan turut membentuk identitas #GueKompasianer selama dilakukan dengan sungguh. 

Atau barangkali dalam bahasa Max Weber (1864-1920) yang meneliti hubungan antara perkembangan Kapitalisme dan Etik Protestan, usaha merumuskan apa yang sebut "panggilan": sesuatu yang menjadi dasar dari jalan mengada di Kompasiana.

Bagaimanakah bentuk kongkritnya, sesuatu yang bisa dioperasionalisasikan untuk menjawab "panggilan"?

Ada satu cara yang sebenarnya sudah terbangun lama di Kompasiana dan karena itu juga adalah modalitas yang merawat keanekaragaman isi-persepsi. Hanya saja, rasanya, seringkali terbenam di tengah narasi dominan (yang tengah viral) dan lekas memancing klik (Click Bait).

Cara yang dimaksud adalah mendefinisikan ulang politik yang formil minimal dalam dua artian. 

Artian yang pertama adalah dengan mewaspadai wacana rekonsiliasi kembali terjebak pada konsensus-konsensus jangka pendek elite politik. Konsensus yang tidak berjarak dari praktik atau kebiasaan lama, sebagai bagi-bagi kue kekuasaan dengan dalih usang demi akomodasi kekuatan-kekuataan politik dan stabilisasi. 

Yang pertama ini, kita bisa segera melihatnya dari hilir mudik tulisan yang tayang di kanal politik walau kebanyakan lebih sering tampak sebagai catatan kaki dari pemberitaan media massa. Agak sulit, atau sangat jarang, menemukan tawaran perspektif yang membawa kita melepaskan-atau malah mencurigai-kesadaran sendiri dari sudut pandang para pelaku kekuasaan yang, celakanya, juga menjadi sumber informasi dari berita media massa yang kita baca sehari-hari. 

Sementara yang kedua, merintis satu narasi yang dimunculkan dari keseharian hidup warga biasa yang menceritakan perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan atau sebaliknya, menyuarakan kondisi-kondisi yang tidak terjamah oleh daya pulih kekuasaan yang memerintah. 

Untuk kebutuhan yang kedua, seperti apa contohnya? 

Saya memiliki tulisan yang pernah tayang di Kompasiana dalam konteks narasi orang-orang kecil yang berjuang untuk kemanusiaan. Tentu saja ini hanya satu contoh kecil dari banyaknya ragam tulisan yang tayang di Kompasiana dengan orientasi yang sama.

Saya menuliskannya dengan judul Kompasiana dan "Subyektivasi Subaltern", tayang 26 September 2015.  Tulisan yang terinspirasi oleh reportase yang sangat menyentuh dari kompasianer Venuzgazer. Reportase itu diberi judul Ini Kisah Tiurma Suci, Wanita Dengan HIV/AIDS yang Penuh Inspirasi.

Apa itu "Subaltern" dan mengapa penting?

Subaltern secara sederhana dapat kita maknai sebagai orang-orang kecil yang menjadi korban, entah karena penyakit, entah karena stigma ideologi dan keagamaan, entah karena cara pandang budaya yang rasisitik, atau entah karena sistem ekonomi yang eksploitatif, yang suara-suaranya dibisukan. Dengan kata lain, subaltern adalah korban dari satu kondisi sistem yang sakit, dehumanistik, namun mereka hidup dalam penderitaannya sendiri, tanpa bersuara atau sengaja dibuat tidak bersuara.  

Dengan kata lain, produksi narasi kehidupan sehari-hari yang mengajak pikiran menyelami dunia sosial dari mereka yang tidak cukup beruntung. Kehidupan dari mereka yang dipunggungi sesama dan juga kekuasaan yang memerintah sedemikian lama. Seolah saja menanggung nasib buruk tanpa kesempatan memperbaiki. 

Barangkali dengan begitu, kita turut membangun perspektif bagi "humanisasi dunia sosial dan kekuasaan politik". Inilah ikhtiar yang saya maksudkan. 

Artinya, boleh dikatakan jika #GueKompasianer selama diletakkan menurut pendasaran di atas memiliki panggilan yang berakar pada spirit kemanusiaan dalam rumah besar kebangsaan Indonesia. Kemanusiaan yang terikat pada kemajemukan anak-anak suku, orientasi keberagamaan dan geografi ketimpangan yang berbeda-beda. Pada saat bersamaan, menghadapi perubahan dunia yang digerakan oleh revolusi teknologi komunikasi yang menciptakan aktor-aktor non-human dalam mendorong terbitnya masyarakat baru sekaligus pergeseran nilai-nilainya. 

Pilpres sudah usai. Sudah waktunya pula berhenti menjadi pemandu sorak kekuasaan.

Tabik!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun