Atau, bagaimanakan narasi Beyond Blogging boleh menahan laju polarisasi sosial buah dari kontestasi wacana politik elit yang telah mengawetkan ketegangan harian "orang-orang yang berada di pinggiran jalan" kekuasaan-misalnya?
Pertanyaan dengan intensi yang serius seperti ini memang seharusnya diletakkan sebagai parameter diri. Menjadi motif, daya dorong psikologis atau "kehendak mengada" di jagad produksi narasi Kompasiana yang tentu saja tidak berdiri sendiri sebagai ruang bagi suara kewargaan. Digitalisasi telah menciptakan kompetisi narasi dimana kepakaran (expert system) diguncang.
Hal mana makin diperkuat oleh faktualitas yang telah jamak disebut jikalau di tengah dunia yang serba bercampursari dan mengguncang segala sesuatu yang menjadi rujukan (entah moral, pengetahuan atau "citra diri ideal"), kesadaran yang enggan melatih diri luwes dan belajar melihat secara berlapis, sepertinya akan menjadi kawananan yang hilang.Â
Dalam wujud yang lain, menjadi diri yang kaku dan lekas mengutuk, mengalami ekslusivisme yang xenophobik. Menjadi manusia antihistoris, menderita kecemasan berlebih dan kehilangan kapasitas mencandrai kemungkinan melampauinya. Diri yang negatif, yang tak mampu mengelola impor kehampaan.
Walau begitu, sampai di sini, artikel pendek ini bukan tentang seperangkat anjuran moral atau resep bertindak. Termasuk juga bukan refleksi yang menyeluruh tentang dunia dalam digitalisme (entah karena dilipat atau karena terdampak tumbal-tumbal modernitas) seperti apa yang menuntut kewaspadaan naratif dari posisi wicara warga.Â
Tulisan ini hanya satu peringatan diri (yang berulang) dari pasang surut yang telah tergambarkan di atas.Â
Dalam pada itu, hanya kepada usaha merumuskan kembali kebutuhan untuk bernarasi. Dalam konteks yang sempit, yang bergerak di depan mata adalah kebutuhan bernarasi dimaksud berada dalam tegangan jejak-jejak polarisasi politik yang masih saja menajam serasa kerikil di musim kemarau. Suatu kebutuhan yang diandaikan turut membentuk identitas #GueKompasianer selama dilakukan dengan sungguh.Â
Atau barangkali dalam bahasa Max Weber (1864-1920) yang meneliti hubungan antara perkembangan Kapitalisme dan Etik Protestan, usaha merumuskan apa yang sebut "panggilan": sesuatu yang menjadi dasar dari jalan mengada di Kompasiana.
Bagaimanakah bentuk kongkritnya, sesuatu yang bisa dioperasionalisasikan untuk menjawab "panggilan"?
Ada satu cara yang sebenarnya sudah terbangun lama di Kompasiana dan karena itu juga adalah modalitas yang merawat keanekaragaman isi-persepsi. Hanya saja, rasanya, seringkali terbenam di tengah narasi dominan (yang tengah viral) dan lekas memancing klik (Click Bait).
Cara yang dimaksud adalah mendefinisikan ulang politik yang formil minimal dalam dua artian.Â