Artian yang pertama adalah dengan mewaspadai wacana rekonsiliasi kembali terjebak pada konsensus-konsensus jangka pendek elite politik. Konsensus yang tidak berjarak dari praktik atau kebiasaan lama, sebagai bagi-bagi kue kekuasaan dengan dalih usang demi akomodasi kekuatan-kekuataan politik dan stabilisasi.Â
Yang pertama ini, kita bisa segera melihatnya dari hilir mudik tulisan yang tayang di kanal politik walau kebanyakan lebih sering tampak sebagai catatan kaki dari pemberitaan media massa. Agak sulit, atau sangat jarang, menemukan tawaran perspektif yang membawa kita melepaskan-atau malah mencurigai-kesadaran sendiri dari sudut pandang para pelaku kekuasaan yang, celakanya, juga menjadi sumber informasi dari berita media massa yang kita baca sehari-hari.Â
Sementara yang kedua, merintis satu narasi yang dimunculkan dari keseharian hidup warga biasa yang menceritakan perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan atau sebaliknya, menyuarakan kondisi-kondisi yang tidak terjamah oleh daya pulih kekuasaan yang memerintah.Â
Untuk kebutuhan yang kedua, seperti apa contohnya?Â
Saya memiliki tulisan yang pernah tayang di Kompasiana dalam konteks narasi orang-orang kecil yang berjuang untuk kemanusiaan. Tentu saja ini hanya satu contoh kecil dari banyaknya ragam tulisan yang tayang di Kompasiana dengan orientasi yang sama.
Saya menuliskannya dengan judul Kompasiana dan "Subyektivasi Subaltern", tayang 26 September 2015. Â Tulisan yang terinspirasi oleh reportase yang sangat menyentuh dari kompasianer Venuzgazer. Reportase itu diberi judul Ini Kisah Tiurma Suci, Wanita Dengan HIV/AIDS yang Penuh Inspirasi.
Apa itu "Subaltern" dan mengapa penting?
Subaltern secara sederhana dapat kita maknai sebagai orang-orang kecil yang menjadi korban, entah karena penyakit, entah karena stigma ideologi dan keagamaan, entah karena cara pandang budaya yang rasisitik, atau entah karena sistem ekonomi yang eksploitatif, yang suara-suaranya dibisukan. Dengan kata lain, subaltern adalah korban dari satu kondisi sistem yang sakit, dehumanistik, namun mereka hidup dalam penderitaannya sendiri, tanpa bersuara atau sengaja dibuat tidak bersuara. Â
Dengan kata lain, produksi narasi kehidupan sehari-hari yang mengajak pikiran menyelami dunia sosial dari mereka yang tidak cukup beruntung. Kehidupan dari mereka yang dipunggungi sesama dan juga kekuasaan yang memerintah sedemikian lama. Seolah saja menanggung nasib buruk tanpa kesempatan memperbaiki.Â
Barangkali dengan begitu, kita turut membangun perspektif bagi "humanisasi dunia sosial dan kekuasaan politik". Inilah ikhtiar yang saya maksudkan.Â
Artinya, boleh dikatakan jika #GueKompasianer selama diletakkan menurut pendasaran di atas memiliki panggilan yang berakar pada spirit kemanusiaan dalam rumah besar kebangsaan Indonesia. Kemanusiaan yang terikat pada kemajemukan anak-anak suku, orientasi keberagamaan dan geografi ketimpangan yang berbeda-beda. Pada saat bersamaan, menghadapi perubahan dunia yang digerakan oleh revolusi teknologi komunikasi yang menciptakan aktor-aktor non-human dalam mendorong terbitnya masyarakat baru sekaligus pergeseran nilai-nilainya.Â