Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati!
― Pramoedya Ananta Toer, (dalam Bumi Manusia)
Kemarin hari, saya ke Jakarta dengan seorang kawan. Langit terlihat mendung di luar.
Naik kereta dari Bogor ke Cikini. Kawan saya membuka aplikasi GPS dan memeriksa arah-sebab tersesat mencari tujuan dalam satu titik yang berdekatan sungguh kebodohan yang tak terganggungkan! Keluar dari stasiun, kami lalu berjalan kaki, menelusuri trotoar, melawan arus satu arah, menjumpai pertigaan kecil yang ke Raden Saleh hingga tiba di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Beberapa spanduk politik elektroral bertahan di pinggir jalan. Gerimis mulai turun.
Apa yang tidak berubah di tempat ini?
Saya beberapa kali ke sini, pernah diajak ngopi. Itu sudah sekitar satu dekade yang lalu. Saya ingat hari itu, dengan seorang kawan, kami tidak berbicara. Tenggelam di depan gawai masing-masing. Seolah kelas menengah yang waktunya hanya bekerja, kemudian kelelahan. Atau seolah "Digital Nomad", sedang membereskan sesuatu tanpa harus ngantor dan bertatap muka.
Pernah juga pada suatu malam, saya menikmati segelas plastik kopi kemasan di depan TIM. Dengan isi percakapan yang lebih banyak mengorientasikan pikiran kepada ruang. Tapi kali ini beda. Saya lebih terbenam ke dalam wajah para pelangsir bajaj yang masih sering nongkrong di depan.
Iya, saya memang sedang menerapkan taktik memainkan imajinasi sosiologis yang diajarkan C. Wright Mills.
Seketika di posisi kelas atas, seketika di kelas bawah dalam ruang urban berlevel megapolitan. Meletakan kedirian dalam putaran aktifitas, perburuan ekonomi dan posisi-posisi dalam konsumsi.
Intinya, bagaimana manusia, uang dan institusi kebahagiaan berkelindan membentuk hubungan-hubungan (kekuasaan) di dalam transformasi ruang sehari-hari. Bagaimana itu berkelindan dengan tekanan populasi, moda transportasi juga moda-moda konsumsi yang seringkali tumbuh terlalu cepat dengan siklus lahir mati yang sama cepatnya.
***
"Saya kalau ditawari kerja di Jakarta, masih mikir-mikir dulu."
Kawan seperjalanan saya bilang begitu. Saya tersenyum.
Saya terus ingat kawan baik, seorang dari Tenggara Sulawesi yang tersedu-sedu mengenang pola makannya yang berantakan padahal setahun saja belum ada hidupnya di Salemba. Saya juga ingat kawan lain yang bertahun-tahun lama bertahan, berpindah-pindah di Kramat Sentiong, bahkan (berani) menikahi seorang perempuan dari Jawa Barat. Dia seorang dari pulau Halmahera.
Saya terbayang seseorang, seorang muda yang pernah berlagak turis saat menumpang kereta eksekutif dari Gambir ke stasiun Tugu, Yogyakarta. Dia menanggung dingin dan kikuk sepanjang malam. Bahkan menahan pipis sangking terkejutnya dengan eksekutifisme yang meremukkan tulang belakangnya.
Yang terakhir ini, saya sendiri. Huihui..
Namun yang paling menusuk dari peringatan perihal harus bekerja dan daya tahan survive di Jakarta memenjara pikiran pada sebuah pemukiman di sekitar Bukit Duri Putaran. Sebuah gang sempit dengan rumah kecil yang bisa menampung "satu kakak tujuh ponakan".
Ada beberapa anak muda di salah satu ruangnya. Ada suatu hari dimana hanya tersedia duit sepuluh ribu rupiah dan setengah dus Indomie rasa Kari Ayam. Mereka anak-anak muda yang kesana-sini mencari peruntungan. Jika bukan kesempatan untuk bekerja, sekurangnya membuat mereka tidak lantang-luntung gak karuan.
Menjadi orang-orang yang munafik. Di tanah lahir, menceritakan diri bekerja sedang sehari-hari berkumpul untuk cerita-cerita tanpa ada hasilnya.
Tapi mereka menghindari kerja kantoran, semisal ASN-dan juga tidak bakal diterima negara-apalagi bekerja sebagai pekerja di pusat-pusat konsumsi Jakarta. Mereka mendoakan takdir mereka, setidaknya memiliki bakat, bergaul di lingkungan atau kelompok yang memiliki koneksi kepada kekuasaan.
Bukan sembarang kekuasaan, bukan jenis recehan, tentu saja!
Maksud saya, dalam kondisi yang berulang dengan setengah dus Indomie rasa Kari Ayam, seperih apapun rasa sakit yang diciptakannya, mimpi-mimpi besarmu jangan sampai menyerah.
Salah satu dari kumpulan anak-anak muda itu meyakini sikap seperti ini. Dengan keuletannya di atas rata-rata, dia meniti semua jalan yang telah dilalui orang-orang sebelum dia. Dia mungkin mengalami jalan yang lebih berat karena, Jakarta adalah arena perburuan yang telah lama diperebutkan mereka yang tumbuh bersama jejaring penguasa dari Jawa Dwipa.
Jejaring lama dan kenyal yang menjadi jangkar dari reproduksi elit modern Indonesia dari masa lalu kolonial.
Kawan yang satu ini sukses menembusnya. Dia bukan saja sudah menembus inti jejaring itu. Kini dia salah satu yang akan berkompetisi untuk masuk di dalamnya. Dia akan ikut berkontestasi dalam pertarungan elektroral perdananya.
Bagaimana dia memulai usaha ke arah sana, saat yang sama saya memilih kembali pada "yang pinggir" saja?
Dia memulai dengan nasehat anak-anak Jakarta sendiri. Kuasai dulu jalanannya, baru jaringannya! Mengerti benar nama jalan, nomor angkutan kota dan siapa pemilik alamat yang dituju. Ingatlah jika zaman itu moda transportasi daring di Jakarta masihlah angan-angan.
Kawan saya ini menempuh "penggemblengan jalanan" dengan beberapa kali senggolan dan rasanya ratusan kali nyasar yang lucu dan menjengkelkan. Luka dan lelah dibawanya berlari, hingga hilang hambatan-hambatan diri.
Hingga hilang penjara yang dikonstruksi pikiran, penjara yang isinya cerita tentang kengerian-kengerian Jakarta sekaligus ukuran-ukuran kesenangan yang selalu memutakhirkan diri.
Dari gang sempit yang menyembunyikan banyak rumah dengan daya muat "Satu Kakak, Tujuh Ponakan" itu, dia kini memiliki rumah dua lantai, seorang istri yang sangat mencintainya dan dua anak lelaki yang ganteng. Saya kini berhadapan dengan seseorang dari pelosok yang sudah boleh tersenyum di depan Jakarta.
Heibaat!
**
Saya menjumpai orang-orang sepuh yang berjalan pagi dan hanya sedikit anak muda yang berlari keliling kompleks istana. Saya melihat hidup yang bekerja dan hidup yang sedang menuju masa istirahat. Waktu seperti tak memiliki jeda, masa tua dan muda hanya soal menjadi apa dan menikmati sesudahnya. Barangkali.
Tiba-tiba saja, wilayah yang bernama kolonial Buitenzorg bersama Batavia tumbuh bersama cerita-cerita tentang orang-orang daerah yang bergulat demi sesuatu yang disebut berhasil. Demi masuk ke dalam daftar orang-orang yang berhasil menaklukan sebuah pusat. Demi menjadi orang-orang yang menasional atau bahkan meng-internasional, yang berangkat dari segala macam keterbatasan dan jalan ksatrianya" sendiri-sendiri.
Orang-orang yang ingin terlibat dalam perbuatan nyata, memiliki karya. Bukan jenis ongkang-ongkang kaki!
Saya mungkin pernah salah memahami ambisi sejenis ini di masa lalu. Seketika saya menemukan diri sendiri mungkin lebih luwes dan rileks. Selow,selow bae...
Saya terus rindu pada sebuah pinggiran yang mengajarkan hari-hari yang sederhana dan berbagi dengan gembira. Ada sungai dan hutan yang sesekali dihiasi koloni Bekantan yang sedang asik makan. Memang masih ada jejak dus Indomie, ikan Sardin kalengan dan negara yang masih saja kesulitan hadir mengurangi ketimpangan.
Saya terkenang kawan-kawan saya dan beberapa orang tua yang dipelihara nostalgia zaman perburuan kayu. Beberapa ingin bebas darinya, sedang berusaha pindah ruang, tapi beberapa memilih bungkam dengan kenangan-kenangannya.
Sungguh-sungguh ziarah ingatan yang akhirnya mengejutkan saya.
Waktu mungkin terasa sekilas saja, tapi makna tumbuh melampauinya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H