***
"Saya kalau ditawari kerja di Jakarta, masih mikir-mikir dulu."
Kawan seperjalanan saya bilang begitu. Saya tersenyum.
Saya terus ingat kawan baik, seorang dari Tenggara Sulawesi yang tersedu-sedu mengenang pola makannya yang berantakan padahal setahun saja belum ada hidupnya di Salemba. Saya juga ingat kawan lain yang bertahun-tahun lama bertahan, berpindah-pindah di Kramat Sentiong, bahkan (berani) menikahi seorang perempuan dari Jawa Barat. Dia seorang dari pulau Halmahera.
Saya terbayang seseorang, seorang muda yang pernah berlagak turis saat menumpang kereta eksekutif dari Gambir ke stasiun Tugu, Yogyakarta. Dia menanggung dingin dan kikuk sepanjang malam. Bahkan menahan pipis sangking terkejutnya dengan eksekutifisme yang meremukkan tulang belakangnya.
Yang terakhir ini, saya sendiri. Huihui..
Namun yang paling menusuk dari peringatan perihal harus bekerja dan daya tahan survive di Jakarta memenjara pikiran pada sebuah pemukiman di sekitar Bukit Duri Putaran. Sebuah gang sempit dengan rumah kecil yang bisa menampung "satu kakak tujuh ponakan".
Ada beberapa anak muda di salah satu ruangnya. Ada suatu hari dimana hanya tersedia duit sepuluh ribu rupiah dan setengah dus Indomie rasa Kari Ayam. Mereka anak-anak muda yang kesana-sini mencari peruntungan. Jika bukan kesempatan untuk bekerja, sekurangnya membuat mereka tidak lantang-luntung gak karuan.
Menjadi orang-orang yang munafik. Di tanah lahir, menceritakan diri bekerja sedang sehari-hari berkumpul untuk cerita-cerita tanpa ada hasilnya.
Tapi mereka menghindari kerja kantoran, semisal ASN-dan juga tidak bakal diterima negara-apalagi bekerja sebagai pekerja di pusat-pusat konsumsi Jakarta. Mereka mendoakan takdir mereka, setidaknya memiliki bakat, bergaul di lingkungan atau kelompok yang memiliki koneksi kepada kekuasaan.