Bukan sembarang kekuasaan, bukan jenis recehan, tentu saja!
Maksud saya, dalam kondisi yang berulang dengan setengah dus Indomie rasa Kari Ayam, seperih apapun rasa sakit yang diciptakannya, mimpi-mimpi besarmu jangan sampai menyerah.
Salah satu dari kumpulan anak-anak muda itu meyakini sikap seperti ini. Dengan keuletannya di atas rata-rata, dia meniti semua jalan yang telah dilalui orang-orang sebelum dia. Dia mungkin mengalami jalan yang lebih berat karena, Jakarta adalah arena perburuan yang telah lama diperebutkan mereka yang tumbuh bersama jejaring penguasa dari Jawa Dwipa.
Jejaring lama dan kenyal yang menjadi jangkar dari reproduksi elit modern Indonesia dari masa lalu kolonial.
Kawan yang satu ini sukses menembusnya. Dia bukan saja sudah menembus inti jejaring itu. Kini dia salah satu yang akan berkompetisi untuk masuk di dalamnya. Dia akan ikut berkontestasi dalam pertarungan elektroral perdananya.
Bagaimana dia memulai usaha ke arah sana, saat yang sama saya memilih kembali pada "yang pinggir" saja?
Dia memulai dengan nasehat anak-anak Jakarta sendiri. Kuasai dulu jalanannya, baru jaringannya! Mengerti benar nama jalan, nomor angkutan kota dan siapa pemilik alamat yang dituju. Ingatlah jika zaman itu moda transportasi daring di Jakarta masihlah angan-angan.
Kawan saya ini menempuh "penggemblengan jalanan" dengan beberapa kali senggolan dan rasanya ratusan kali nyasar yang lucu dan menjengkelkan. Luka dan lelah dibawanya berlari, hingga hilang hambatan-hambatan diri.
Hingga hilang penjara yang dikonstruksi pikiran, penjara yang isinya cerita tentang kengerian-kengerian Jakarta sekaligus ukuran-ukuran kesenangan yang selalu memutakhirkan diri.
Dari gang sempit yang menyembunyikan banyak rumah dengan daya muat "Satu Kakak, Tujuh Ponakan" itu, dia kini memiliki rumah dua lantai, seorang istri yang sangat mencintainya dan dua anak lelaki yang ganteng. Saya kini berhadapan dengan seseorang dari pelosok yang sudah boleh tersenyum di depan Jakarta.
Heibaat!