Saya tergolong memiliki rujukan yang payah perihal jenis-jenis drama yang satu ini. Jadi kalau kali ini, saya terbaca takjub, itu karena sinetron sudah harus dihentikan dari siaran televisi.Â
Hanya ada empat judul yang pernah saya saksikan, satu di antaranya tidak selesai. Keempatnya adalah City Hunter (2011), My Girlfriend is Gumiho (2010), Queen for Seven Days (2017) dan yang baru saja selesai, Miss Hammurabi (2018).
Drama berseri ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang dikarang Moon Yoo-seok. Moon Yoo-seok adalah seorang hakim senior pada Seoul Central District. Novel yang mula-mula ditulis berseri dalam koran lokal. Koran The Hankyoreh namanya.
Drama ini 'hanya 16 seri" dengan waktu rata-rata 1 jam. Dibintangi oleh Go Ara (Park Cha Oh-reum), Kim Myung-soo (Im Ba-reun), Sun Dong-il (Han Se-sang) serta Ryu-Deok-hwan (Jung Bo-wang) dan Lee Elijah (Lee Do-yeon).
Dari judul serta latar belakang penulisnya, kita jadi tahu drama yang dirilis mulai 21 Mei dan berakhir 16 Juli ini berkisah hidup manusia dan sistem hukum. Lebih kecilnya, drama manusia dengan rutinitas pengadilan sebagai porosnya.
Laman Viu Indonesia mengatakan jika film ini menampilkan tiga karakter utama yang mewakili tiga kehadiran atau spirit. Yang pertama, hasrat (passion), yang menubuh dalam sosok hakim Park Cha Oh-reum, kedua, prinsip (principle) yang menubuh dalam sosok Im Ba. Keduanya juga mewakili kemudiaan dan perjalanan hidup. Serta yang ketiga, kebijaksanaan (wisdom) Han Se-sang, sang hakim senior.
Saya kira penyimpulan seperti ini hanya serupa pintu masuk untuk melihat hubungan konfliktual yang lebih kompleks seperti galibnya drama korea-setidaknya jika mengacu pada tiga seri yang sempat saya saksikan.
Seperti apa kompleksitas konfliktual dalam Miss Hammurabi ini? Kompleksitas yang menjadi kekuatan pembentuk cerita?
Pertama, pengadilan sebagai porosnya adalah panggung dari usaha untuk menjaga orang-orang berkuasa tidak memakan suka-suka yang tidak berkuasa. Di dalamnya, hidup orang-orang dengan latar belakang dan orientasi yang berbeda-beda. Tak jarang, bertabrakan.
Setiap orang datang atau hadir dengan peran-peran yang sudah ditentukan ketika panggung dihidupkan. Ada hakim, panitera, satuan pengamanan, terdakwa, jaksa, dan pembela. Ketika sebuah kasus disidangkan, masing-masing berjuang meraih apa yang disebutnya sebagai vonis atau putusan yang adil.
Namun ketika panggung yang menjadi arena dari pentas peran dipadamkan, ada semesta yang tidak terjangkau oleh cahaya atau, sangat bisa jadi, bertolak belakang dengan apa yang tampak diperankan secara rutin.
Kita mungkin melihat teknik Dramaturgi di sini.
Dunia psiko-sosial di luar panggung pengadilan jauh lebih rumit. Inilah kompleksitas kedua sekaligus magnit pertama yang menyedot penonton menelisik sejarah hidup dari masing-masing karakter.
Hakim Park yang selalu tersenyum hampir tanpa kelihatan giginya itu hidup melawan luka dan trauma. Memiliki ayah yang sukses dan kaya, ibunya seorang yang lembut dan anggun. Rumah mewah dan hidup yang serba tersedia.
Akan tetapi, ayahnya adalah penganut "Bapakisme" yang mengerikan. Sering menjadikan ibunya sansak hidup. Dan ketika bangkrut, memilih jalan bunuh diri. Bapakisme yang memble! Ibunya kemudian harus hidup dengan mengatasi kegilaan.
Pun dengan Park remaja. Mengalami beberapa kali pelecehan seksual, selain perlakuan keras bapaknya. Ia hidup dalam ketakutan, bahkan membangun persepsi bahwa manusia di luar dirinya hanyalah jenis yang berbahaya; orang-orang dengan laku homo homini lupus.
Singkat kata, Park yang ketika bersemangat bisa meruntuhkan apa saja itu memiliki jejak penderitaan sebagai anak perempuan tunggal horang kayah yang naas.
Sedangkan koleganya, hakim sebelah kanan, Im Ba-reun juga adalah anak lelaki tunggal dengan latar ekonomi menengah ke bawah. Ayahnya adalah seorang yang payah dalam karir, mantan reporter yang sibuk mencari kerja di masa tua. Ibunya hanyalah seorang pengurus rumah tangga yang sabar.
Im Ba-reun remaja adalah lelaki yang gemar menghabiskan waktu di depan buku. Seorang yang pembelajar dan ketus. Dia tumbuh dengan ketidaksukaan terhadap manusia lain, tapi bukan karena luka atau trauma. Mungkin sejenis sikap antisosial.
Keduanya memiliki satu latar belakang yang sama: menjadi hakim karena kerja keras sendiri.
Di luar dunia psiko-sosial yang seperti ini, ada dunia hakim senior yang galak dalam persidangan namun tanpa wibawa di depan istri dan dua anak perempuannya dan ada dunia yang dihuni oleh perempuan-perempuan yang telah menjanda, serta dunia seorang muda yang kaya raya, pebisnis dari keluarga pemilik kerajaan bisnis yang sedang mekar berkibar-kibar, NJ grup.
(Maaf  Lee Da-yeon yang anggun, saya mengabaikan cerita cintamu yang lumayan heboh itu).
Sisanya, adalah bumbu-bumbu drama yang mengajak penonton terbenam dalam tema serius Ms. Hammurabi. Tema yang menjadi aspek ketiga penyusun kompleksitas adalah PENEGAKAN HUKUM dan KEKUASAAN. Atau, yang justru merupakan centrum cerita.
Kita bisa melihat bagaimana hakim Park dengan profil psikis yang kelam itu berusaha melampaui proseduralisme. Bagi dirinya, hukum harus melindungi yang lemah. Dalam kata-katanya, hukum wajib tajam ke atas, tumpul ke bawah!
Sebab itu juga, ia mengulurkan tangan pada seorang ibu yang kehilangan anaknya karena malpraktik medis. Ia memimpin sidang yang "membela karyawan magang" korban pelecehan seksual. Ia juga memberi masukan yang menghukum seorang professor dengan tuduhan percobaan pemerkosaan mahasiswinya.
Professor  yang merupakan menantu keluarga kaya, penguasa NJ grup dengan anak laki-laki pewaris yang tumbuh besar bersama Park, lantas, jatuh cintalah.
Park juga membela rekan sesama hakim perempuan yang mengalami perlakuan kasar dari hakim ketuanya. Ia mengorganisir petisi dan menginisiasi sidang komite hakim, tindakan yang tiba-tiba seperti melahirkan gempa di dalam pengadilan yang dingin, tertib, dan serba berdasi.
Dengan kata lain, Park dengan idealisme muda nan bersemangat telah mengguncang tatanan yang selama ini menyembunyikan praktik-praktik menindas di balik klaim sebagai institusi penegak hukum.
Penindasan yang bersumber dari dua hal, posisi dan kewenangan atau otoritas serta diskriminasi gender. Dua model penindasan yang dipelihara dari struktur patriarki.
Di sini, dalam 16 seri ini, kritik terhadap patriarkisme dihadirkan secara eksplisit.
Sedangkan Im Ba-reun, yang bertipe lebih dingin, prosedural, dan karena itu juga hati-hati, sering tampil layaknya rambu-rambu. Sesuatu yang setia mengingatkan tanpa bosan, melindungi tanpa mengatakan, merindukan tanpa mengirimkan pesan telanjang. Tak ada kamus meninggalkan baginya, persis traffic light.
Kemampuan bertahan seperti ini menyempurnakan cintanya yang juga telah tumbuh sejak masa sekolah--nostalgia SMA kitaaa, jangan bubar begitu sajaaa. Begitulah kura-kura.
Maka dari padanya, penonton bisa melihat jika sosok Park dan Im Ba-reun- dan ini yang makin menambah greng kompleksitas konfliknya-sejatinya adalah dua dunia yang saling membentuk diri, saling bertukar pandangan dan sikap untuk memperkaya masing-masing. Berdialektik, kata orang-orang filsafat.
Karakter keduanya  terus berkembang, melewati benturan, menghadapi masa krisis yang sangat serius seperti di episode ke-14 ketika menghadapi arus balik perlawanan NJ Grup, hingga akhir yang bahagia.
Soal krisis yang serius, ini adalah bagian yang juga penting, yang mengikat cerita kedalam hubungan-hubungan kekuasaan yang begitu besar dan berbahaya. Kekuasaan yang bekerja di balik keberadaan institusi sosial yang mestinya melayani orang banyak yang lemah. Inilah tegangan yang membentuk kompleksitas keempat.
Krisis yang saya maksud adalah ketika Park diserang sebagai hakim yang menjatuhkan vonis 4 tahun kepada professor cabul yang juga bagian dari keluarga besar horang kayah bermerek NJ Grup. Keluarga yang dikenal baik oleh Park.
Karena membela martabat keluarga sekaligus menutup boroknya, NJ grup melakukan serangan balik yang total. Yang legal dan ekstra-legal.
Mereka mengorganisir opini massa yang fokusnya mendeskreditkan kompetensi Park dengan target mendorong adanya sanksi. Mulai dari corong politik (parlemen), corong media massa hingga aksi massa di depan pengadilan ditempuh. Intinya memasifkan pembunuhan karakter dengan menyebut tipologi Park adalah jenis hakim yang membenci laki-laki.
Jika tak mampu menghentikan hujan, mandi hujan saja bersama-sama!
Park tersudut, terguncang dan terbitlah jiwanya yang rapuh dan tersedu-sedu. Yang tidak butuh tafsir-tafsir yang berputar-putar untuk mencari dalang di balik konspirasi. Yang hanya butuh bahu untuk terisak dan pelukan yang menyabarkan.
Park yang menolak pernyataan cinta akhirnya merapuh di bahu Im oleh serangan korporasi. Ia merapuh karena kuasa yang besar dan mengerikan. Ia merapuh karena meragukan kemampuan dirinya sendiri.
Bukan karena tidak memiliki teman curhat kayak kamu, Ganteng-ganteng Serigala--bisa aja ni drama.
Im Ba-reun sepertinya tahu, ketika Park berada di titik nadir, sebatas menyediakan bahu saja hanyalah perlindungan paling bodoh dalam sejarah hidupnya. Maka dia mengorganisir petisi yang meminta dirinya dipecat, jika Park harus dipecat.
Aksi perlawanan petisi yang juga disambut oleh beberapa hakim muda. Sedang di luar pengadilan, seorang ibu yang kehilangan anak dan seorang karyawan yang dipecat karena melawan pelecehan seksual, adalah sekutu kecil yang membangun "opini tandingan" terhadap konspirasi NJ grup.
Perlawanan hakim muda terhadap kuasa hakim tua akhirnya dimenangkan. Serangan balik opini yang telak di titik Achilles grup NJ pun membalik arus percakapan massa, yang sesekali waras, tiba-tiba gila dan mengerikan.
Hakim Park menjadi matahari muda di pengadilan. Zaman baru segera terbit. Para hakim tua mulai memikirkan untuk mengundurkan diri.
Lantas, bagaimana dengan romantika Park dan Im? Drama kok isinya filsafat dan politik, siigh..
Tidak banyak yang dramatik dari hubungan asmara keduanya. Yang barangkali perlu ditakar adalah dialog yang terbangun ketika Park bertanya apa alasan Im menyukainya,
"Kenapa kau menyukaiku?"Â
"Karena kau membuatku tak nyaman."
Tak nyaman kok jatuh hati?
Begini jawab si Im Ba-reun, yang putih kulitnya serupa singkong baru terkupas itu:Â karena kau membuatku merefleksikan diriku.
Maksudnya tuh, karena kehadiran Park, dengan sudut pandangnya, dengan sikap-sikap (politik) hukumnya, dengan empatinya yang tak mengenal lelah apalagi takut, membuat Im melihat sisi yang payah dalam dirinya sendiri. Sisi yang membuatnya harus terus belajar memahami dirinya yang tak tuntas.
Zadiiiss, eug nulis perkara drakor sepanjang ini.... Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI