Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"The Meg", Saintisme Berujung Teror

28 Desember 2018   18:22 Diperbarui: 30 Desember 2018   13:55 1271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film The Meg (2018) | Sumber: Wired

The Meg hanyalah film yang diadaptasi dari novel berjudul Meg: A Novel of Deep Terror. Ditulis Steve Alten dan pertama kali terbit tahun 1997.

Film bergenre Sci-Fi Thriller ini dirilis Agustus kemarin dan sukses meraup pendapatan 530 juta dolar Amerika. Di laman Internet Movie Database (IMDb), dia hanya mendapat rating 5,8 walau disebut dalam "10 Great Shark Movies That Will Keep You Away From the Water" oleh Esquire. Atau termasuk dalam 14 Film Hiu Terbaik Sepanjang Masa oleh Insider.

Disutradarai Jon Turteltaub dengan para bintang seperti Jason Statham (Jonas Taylor), Cliff Curtis (James "Mac" Mackreides) serta aktris China yang kemayu, Li Bingbing (Suyin Zhang), film ini menuturkan cerita dunia bawah laut, ambisi sains dan uang dan teror hiu jenis Megalodon. Hiu dari zaman prasejarah.

Cerita yang sekejap saja terlihat klise. Yang menjelaskan kesalahan berulang manusia terhadap alam di depan klaim-klaim kemajuan sains.

Bedanya The Meg memang berusaha menunjukan narasi kolaboratif antara dua peradaban besar yang juga merupakan representasi kemajuan dari Barat dan Timur. Amerika dan China. Di dalamnya ada keunggulan sains dan uang.

Persis dalam kehendak kolaboratif ini, masalahnya tidak rampung. 

Kenapa boleh begitu?

Jadi The Meg adalah cerita tentang sekelompok ilmuwan yang dimodali untuk menyibak rahasia dunia bawah laut. Dunia yang menyimpan kemungkinan bagi penemuan-penemuan baru dan sesuatu yang kelak penting secara ekonomis. 

Untuk kepentingan ini, mereka membangun stasiun pengamatan yang super canggih.  

Dunia bawah laut tersebut menyembunyikan ketenangan hidup si Megalodon, hiu putih raksasa dari balik lapisan termoklin.

Malapetaka dimulai ketika sebuah kelompok kecil ekspedisi turun hingga menembus lapisan termoklin itu. Di sana mereka menemukan dunia yang sebelumnya baru muncul dalam hipotesis. 

Hipotesis yang tidak menampung jawaban sementara akan keberadaan Megalodon, yang pernah mengaramkan sebuah kapal selam dimana Jonas Taylor tidak mampu menyelamatkan dua kawannya.

Megalodon yang misterius ini kembali menyerang ekspedisi yang salah satunya beranggotakan Lori, mantan istri Jonas. Sedang Jonas yang mulai menjadi pemabuk di Thailand, kembali dimintai pertolongan. Jonas di Thailand karena lari dari kenyataan.

Duda tanpa anak dilukiskan menanggung duka karena gagal menyelamatkan dua koleganya dengan mabuk-mabukan sepanjang waktu tanpa perut yang membesar, mata yang kelihatan lesu redup dan tetap bisa menyelam dengan baik.

Ya, Jonas masihlah pahlawan. 

Dia datang demi aksi penyelamatan seperti dahulu. Tapi kali ini untuk jatuh cinta baru pada perempuan kemayu ahli hiu yang memiliki anak perempuan berusia 8 tahun. Sunyin Zhang namanya, anak dari pimpinan proyek ambisius ini.

Aksi penyelamatan Jonas memberi jalan bagi Si Meg muncul ke dunia permukaan. Meg berhasil menggunakan lubang pada lapisan termoklin hingga tiba di laut permukaan-demikian analisis para ilmuwan.

Selanjutnya, kita akan melihat usaha manusia melawan teror hiu. 

Khusus yang satu ini, The Meg rasanya lebih berhasil memberikan ketegangan dibandingkan dunia bawah laut Aquaman, yang serba canggih dengan manusia kulit puth di segala penjuru dengan adu kesaktian yang tidak lebih sakti dari Wiro Sableng.

Salah satu adegan menegangkan adalah saat Jonas berusaha menyelamatkan Sunyin yang terjebak di dalam tabung ketika hendak menembakan bius ke tubuh si Meg. Sunyin memang perempuan dari Timur namun penguasaannya terhadap anatomi hiu membuatnya menjadi duet terbaik Jason, yang sama sekali tidak mengesankan sebagai ahli Bilogi Laut atau Palentologis, seperti dalam novelnya.

Namun yang paling heroik dari semua usaha melawan terror itu adalah kala Jonas menembakan tombak ke mata Meg yang kesakitan dan melompat ke udara. Sesudah aksi kejar-kejaran bawah laut, meloloskan diri dari celah sempit koral, layaknya liukan pesawat tempur di langit biru.

Jason eh Jonas berhasil menghabisi hidup si Meg terakhir. Meg yang paling besar dan brutal. Semua berakhir bahagia. Walau ada kolega yang mati, itu hanyalah pengorbanan dari sesuatu yang lebih luhur: menangnya manusia atas hiu!

Manusia masihlah pemenang atas keputusan dan konsekuensinya. Tuan atas ambisi-ambisinya.

Saintisme sebagai Asal-usul Teror (?)

Saya tidak pernah membaca novel Meg: A Novel of Deep Terror, sebab itu tidak bisa membandingkannya dengan apa yang bercerita dalam bentuk film. Satu yang jelas, dalam konteks film tentang serangan hiu, The Meg cukup mulus memberi ketegangan. 

Si Meg benar-benar terlihat besar, brutal dan mengerikan. Ia berhasil tampil sebagai hiu yang marah dan terluka karena dunianya yang terancam. Sukses hadir sebagai monster yang disangka telah musnah seiring hukum evolusi. Monster yang muncul sebagai bentuk arus balik perlawanan terhadap ambisi ilmu dan uang dari dua wakil kemajuan peradaban manusia. 

Si Meg bahkan lebih bagus dari akting Jason Statham yang kembali citra kebapakannya dieksploitasi ketika beradu akting dengan anak perempuan Sunyin Zhang yang berusia 8 tahun.

Pun dengan bentang lautan (seascape) yang selalu tampak perkasa dan menyisakan rasa kerdil di dasar hati. Terlebih ketika melihat anak manusia yang kocar-kacir dalam kengerian sesudah si Meg muncul yang menghancurkan apa saja yang mungkin dijangkau. 

Seperti penegasan bahwa alam raya selalu menyimpan kebuasaan ketika keseimbangan hidup diguncang oleh ambisi yang meletakan mausia sebagai satu-satunya yang harus dilayani. 

Semacam antroposentrisme yang infantile.  

Karena itu juga, oleh antroposentrime yang angkuh ini, urusannya berpindah kepada perkara yang sama berbahayanya. 

Yakni perihal sains yang berkembang menjadi agama baru manusia modern dimana semua hal hanyalah obyek dari penyelidikan, bahan baku bagi penemuan cabang-cabang pengetahuan manusia semata-mata. Tidak manusia, tidak alam raya. Tidak ada yang luput dari ambisi penelusuran ilmiah.

Ambisi yang melahirkan krisis terhadap hidup manusia itu sendiri. 

Krisis yang barangkali berakar pada apa yang pernah disebut sebagai Dilema Usaha Manusia Rasional oleh Romo Sindhunata ketika membahas pemikiran Max Horkheimer. 

Bukankah saintisme memang menyumbang pada ideologi teror-seperti kelahiran Fasisme-yang selanjutnya oleh para penganut jalan kematian itu ditambahkan dengan atribut keselamatan nan suci?

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun