Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"La Sombra de La Ley", Narasi Zaman Bergerak dan Hantu Militerisme

21 November 2018   09:35 Diperbarui: 5 Desember 2018   13:03 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film La Sombra de la Ley atau Gun City [2018] | Netflix

Zaman Bergerak!

Mari bayangkan saja medan konflik yang seperti ini, kawan-kawan.

Sebuah kota, di Eropa tahun 1920-an. Jika kau pernah kesana, maka kota itu Barcelona.

Jika tidak, maka mari bayangkan saja ketegangan dalam masyarakat industrial yang berpusat pada, pertama, para baron, wakil dari sisa-sisa dari sistem lama, yang kehilangan kuasa atas relasi patron-klien, kedua, kelas pekerja berhaluan anarkisme yang melawan dengan pemogokan konsisten (dikatakan saat itu Barcelona adalah kota dengan aksi pemogokan terbanyak dalam setahun).

Ketiga, institusi penegak hukum (kepolisian) yang menjadi garda terdepan dari tegaknya negara polisional: gemar memata-matai, membubarkan protes damai, dan merepresi perlawanan pekerja dengan siksaan bahkan penghilangan, dan keempat, para pejabat tinggi politik serta militer yang memiliki kewenangan mengubah arah sejarah.

Dalam medan konflik politik yang daya dorongnya berada dalam empat poros itu, sebuah kereta yang memuat persenjataan dirampok. Lantas seorang yang berasal dari Brigade Informasi dikirim dari Madrid untuk menyibak rumor jika kaum anarkis berada di balik perampokan tersebut.

Kenapa kaum Anarkis?

Sebab saat-saat itu, revolusi sedang bergelora. Ingatlah jika Revolusi Bolshevik baru saja pecah Oktober, tahun 1917 di Rusia. Atau sekitar 3,500-an kilometer dari Barcelona. Baru tiga tahun berlalu.

Semua kekuatan lama, lazimnya konservatif, sudah pasti diliputi kecemasan jika benar senjata itu berada di tangan kelompok yang menolak ada otoritas serba mengatur hidup manusia. Tapi jangan terburu-buru, ini cerita bukan perihal kepahlawanan di zaman pergolakan.

***

Hubungan antar komponen yang terlibat dalam ketegangan sejatinya rumit, kusut dan bertukar tempat.

Dalam kelompok anarkis misalnya. Ada dua kecenderungan yang bergulat di balik pemogokan yang konsisten bersama keanggotaan yang terus meluas. Dua kecenderungan itu adalah yang tetap memilih jalan aktif non-kekerasan berhadapan dengan aktif kekerasan.

Yang pertama diwakili oleh kepemimpinan yang lebih tua, secara umur maupun angkatan dalam gerakan. Sedang yang kedua, lebih muda dengan gairah yang membara terhadap tumbangnya sistem lama dengan pertempuran bersenjata.

Demikian juga situasi dalam institusi kepolisian.

Sang Komisaris adalah sosok yang mulai sepuh dan menahan diri dari segala model dari taktik represi. Dia bukan saja menyadari jika polisi bekerja untuk menegakan hukum namun juga percaya jika kekerasan yang diproduksi dari negara akan melahirkan kekerasan lanjutan dengan skala yang lebih mengerikan.

Sementara itu, bawahannya yang lebih muda, tumbuh dengan sikap yang arogan. Tak sungkan menggunakan kekerasan. Mereka juga menjadikan para baron sebagai "sapi perahan". Tipe bawahan dengan pikiran-pikiran yang sering tidak menyadari konsekuensi yang lebih luas.

Sama halnya yang terjadi di dalam tubuh petinggi politik dan militer.

Selalu ada geng, blok atau faksi yang menghendaki konflik pecah sebagai kekerasan jalanan bahkan perang saudara. Dengan begitu, suasana menjadi chaos dan terbitlah dalih untuk memobilisasi angkatan perang demi menertibkan keadaan serta memulihkan kewibawaan negara. Coup d'etat.

Saat yang bersamaan, juga ada kelompok yang tidak ingin itu terjadi. Berusaha untuk membuat poros yang mendorong benturan itu memahami konsekuensi-konsekuensi yang lebih luas, paling tidak menahan diri dari jebakan siklus kekerasan.

Bagaimanakah ketegangan dimutasi menjadi ledakan kekerasan, seolah sesuatu yang niscaya?

Hanya tersedia satu cara. Ketegangan politik harus didorong pada titik dimana satu-satunya konsensus yang tersedia adalah dengan pecahnya benturan. Perang adalah ujung dari diplomasi yang buntu, bukan?

Harus ada pemicu yang efektif! Maka yang terjadi adalah sang pemimpin pergerakan pekerja penganut jalan anti-kekerasan itu dibunuh. Kemarahan masa diciptakan. Para petinggi militer dan pejabat politik berkumpul lantas membahas persiapan mobilisasi tentara ke jalanan. Sedangkan kepolisian diberi tenggat waktu.

Jadi, dalam situasi yang tidak biner begini, protagonist kita bernama Anibal Uriarte, seorang veteran perang di Maroko, seorang kapten dengan akses pada ring satu kekuasaan. Saat bersamaan, Anibal menyembunyikan kesedihan yang tidak disebutkan sebabnya. Seperti hidup dengan trauma paska-perang yang membuatnya selalu terjaga.

Hantu Bernama Militer(isme)

Anibal Uriarti adalah simpul dalam cerita ini. Dari sudut pandang dan aksi-aksinya, kita diajak menemukan dunia di balik hiruk-pikuk Barcelona (underworld) yang terbentuk dari kepentingan, korupsi dan skandal serta cerita aliansi dan pecah kongsinya.

Anibal menemukan fakta kunci jika perampokan kereta itu didalangi militer sendiri. Hasil rampokan kemudian dijual kepada kaum anarkis faksi pemuja revolusi yang mengambilalih kepemimpinan terhadap massa pekerja yang kini mulai percaya jika revolusi sudah hamil tua. Kontradiksi harus didorong agar pecah!

Sementara polisi sendiri dihadapkan dengan kondisi terancam disfungsi, gagal memecahkan kasus dan menegakan hukum. Dengan lain kata, polisi sedang berhadapan dengan kondisi delegitimasi. 

Manakala benturan pecah, siapa lagi yang bakal menang selain blok militer? Kelompok mana lagi yang dirindukan ketika destabilisasi politik meluas dan mendorong negara berada di titik anarki, selain militer?

Militer(isme) adalah hantu yang memiliki kapasitas memulihkan keadaan yang kacau, termasuk menyediakan jalan ke arahnya.

***

Demikian peluksian ulang kisah dalam La Sombre de La Ley atau Gun City (Oktober, 2018). Film berlatar sejarah Spanyol yang diproduksi Netflix. Film yang mengambil konteks pada tahun-tahun yang mengantarai berkuasaan diktator bernama Miguel Primo de Rivera (1923-1930). Sebuah masa yang dikenal sebagai Era Restorasi.

Miguel De Rivera sendiri adalah sosok dengan pengalaman terlibat perang kolonial di Moroko, Kuba dan Filipina. Saat melaksanakan kudeta September 1923 itu, dia didukung oleh Alfonso XIII, seorang darah biru yang berambisi memulihkan kejayaan Spanyol. Keduanya memiliki pandangan Anti-Demokrasi dan berkehendak mewujudkan slogan "Country, Religion, Monarchy!"

La Sombre de La Ley adalah usaha sinematik mengungkap kembali hubungan konfliktual dalam relasi politik dan ekonomi yang rumit, tidak hitam-putih, tidak setan vs malaikat di balik kondisi-kondisi yang tegang dan mencemaskan. Film sejarah politik yang menurut saya, lumayanlah.

Persoalannya, film dengan ide sekompleks ini selalu memiliki "pendangkalan dalam beberapa bagian". Yang paling mencolok adalah pelukisan tentang kelas pekerja anarkis.

Dalam pemogokan kaum anarkis, kita tidak melihat seperti apa kondisi pekerja di pabrik yang katanya melebihi jam kerja dan memperkerjakan anak-anak.

Kita tidak menjumpai kondisi dehumanistik yang membuat Friedrich Engels memutuskan haluan politiknya menjadi Sosialisme Ilmiah. Engels adalah rekan perjuangan lahir batin seorang Karl Marx.

Kita tidak melihat kondisi eksploitatif yang merantai kelas pekerja, mencengkeram mereka ke dalam alienasi yang total, yang meyakinkan mereka pada jalan perubahan anarkisme.

Terlepas dari itu, film yang disutradarai Dani de la Torre ini bolehlah dimaknai sebagai ilustrasi sinematik yang menunjukan bagaimana perubahan terjadi dari melihat kekuatan-kekuatan pendorongnya, momen dalam beraliansi atau pecah kongsi dan juga tindakan konspirasi serta kontra-konspirasinya.

Film yang mengingatkan jika teori politik modern belum pergi jauh dari peristiwa masa lalu.

Kamu sudah punya bayangan "behind the scene" dengan panas dingin politik di negeri sendiri?

***
Sumber lain yang dirujuk: satu, dua, tiga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun