Jika Anda bertamu di rumah warga muslim yang berada di daerah Sulawesi Utara, Maluku Utara atau Gorontalo, foto beliau banyak terpajang di dinding ruang tamu. Beliau adalah ulama yang sangat dihormati oleh kaum muslimin yang sering digolongkan sebagai "Tradisionalis Islam".
Ayahnya seorang ulama dan mufti di tanah air pertamanya. Sejak muda, dirinya adalah salah satu yang turut berjuang melawan imperium Inggris ketika menjadikan Yaman sebagai wilayah jajahan. Dan sebagaimana takdir mereka yang memilih jalan pemberontak, beliu juga mengalami pembuangan.
Ia bukan saja dipisah dari sahabat seperjuangannya, tetapi juga, dibuat tak bisa kembali ke tanah lahirnya. Pembuangan kolonial yang membuka babak baru dari kisah keulamaannya.
Idrus bin Salim Al-Jufri adalah nama lahir pemberian orang tua beliau, lahir pada 15 Maret 1892. Salah satu sumber menyebutkan nama lengkap beliau adalah As-Sayyed Idrus bin Salim bin Alwi bin Saqqaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim bin Husain bin Abdillah bin Syaikhan bin Alwi bin Abdullah At-Tarisi bin Alwi Al-Khawasah bin Abubakar Aljufri Al-Husain Al-Hadhramiy. Guru Tua, begitu sapaan akrab dari murid-muridnya. Atau dari orang-orang yang tahu riwayat keulamaan beliau.
Guru Tua, juga pewaris darah dagang, pendidik, selain juga darah ulama. Dengan "gen" seperti ini, sebagaimana juga generasi para habaib sebelum beliau, mereka terbiasa melakukan perjalanan jauh, menelusuri daerah-daerah baru, bertemu komunitas dan kultur berbeda, hingga memilih menetap.
Menjadikan suatu tempat sebagai tanah air kedua atau tanah perjuangan bagi karya keulamaannya.
Demikian juga Guru Tua, salah satu aktor sejarah dari sekian banyak pelaku karya keulamaan itu. Semasa hidupnya, beliau mewariskan karya agung bernama Perguruan Islam Al-Khairaat bagi generasi masa kini. Guru tua wafat pada 22 Desember 1969 dalam usia 77 tahun.Â
***
Gedung pusat Al-Khairaat berada di Sulawesi Tengah, persisnya di kotamadya Palu.
Semenjak berdiri ditahun 1930, berjarak sekitar 4 tahun sesudah pendirian Nahdlatul Ulama di tanah Jawa, perguruan Islam yang satu ini terus mengembangkan pengajaran Islam hingga ke luar pulau Sulawesi, menembus Kalimantan, Maluku dan Papua.
Berkembangnya Al-Khairaat hingga keluar Sulawesi tak semata karena Islam memiliki spirit agama dakwah. Spirit saja tak cukup, sebagaimana normatifisme tak praksis akan selalu menjadi 'ideologi langit yang membeku'. Tetapi, ia harus diletakkan dalam fondasi yang memungkinkannya berdiri tegak dan kokoh.
Sebuah sumber daring menyebutkan jika warisan besar dan berharga yang ditinggalkan Guru Tua adalah lembaga pendidikan Islam Alkhairaat. Sampai saat ini Alkhairaat telah mengukir suatu prestasi yang mengagumkan. Dari sebuah sekolah sederhana yang dirintisnya, kini lembaga ini telah berkembang menjadi 1.561 sekolah dan madrasah.
Selain itu, Alkhairaat juga memiliki 34 pondok pesantren, 5 buah panti asuhan, serta usaha-usaha lainnya yang tersebar di kawasan Timur Indonesia (KTI). Sedangkan di bidang pendidikan tinggi, yakni universitas, Alkhairaat memiliki lima fakultas definitif dan dua fakultas administratif atau persiapan, yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan dan Fakultas Kedokteran dengan 11 program studi pada jenjang strata satu dan diploma dua.
Teladan Guru Tua
Guru Tua dalam membangun perguruan Islam Al-Khairaat tetap dengan berdagang. Seperti yang telah disebut sekilas, sebelum mendirikan pusat pendidikan di bumi Dato Karama, riwayat biografis beliau adalah seorang pedagang.
Guru Tua sempat mampir ke Pekalongan (Jawa Tengah) dan berdagang Batik. Hingga dengan berdagang itulah, perjalanan hidup membawanya ke Donggala, Sulawesi Tengah. Guru Tua terus berdagang untuk menghidupi perguruan Islam yang masih bayi itu. Beliau berdagang di seantero kota Palu, mencari dana demi menghidupi karyanya sendiri.
Dalam aktifitas kepengajaran, Guru Tua juga dikenang sebagai pribadi yang hangat dan lembut. Beliau sangat mencintai santrinya. Saking cintanya terhadap santrinya, Guru Tua tak segan membagi lauk dari piring makannya jika ada santri yang tak kebagian lauk saat makan bersama. Beliau juga membayar 'uang sekolah' santrinya yang belum mendapat kiriman, sementara guru-guru yang lain sudah tak sabar menagihnya.
Semasa hidupnya, beliau dikenal tak pernah marah dengan suara yang tinggi apalagi membentak. Tidak pula memiliki tangan pengayun rotan atau melempar terompah yang dipakainya saat sedang kesal. Beliau memilih marah hanya dengan berdiam.
Satu hal yang menarik dari Guru Tua juga pernah ditanya kenapa tak membuat buku yang bisa diwarisi oleh generasi kemudian, beliau menjawab, "Murid-muridku adalah bukuku."
Dalam praktiknya, prinsip ini ditunjukan dengan mendidik murid-murid yang lalu disebar menjadi pengajar di sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan Al-Khairaat. Salah satu yang dikirim untuk mengajar ke sekolah Al-Khairaat di Tondano, Minahasa, adalah almarhum KH. Hasyim Arsjad.
KH. Hasyim Arsjad, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Banjarmasin adalah wilayah yang merupakan produsen ulama besar seperti Syaikh Arsjad Al-Banjari dimana ketinggian pengetahuannya dicatat khusus dalam sejarah ulama Nusantara sebagaimana ditulis DR. Azumardy Azra dalam disertasi yang berjudul Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII.
KH. Hasyim Arsjad merupakan murid langsung Guru Tua yang tergolong kelompok angkatan kedua.
Di masa yang sudah sepuh dan tak lagi mengajar disekolah Alkhairaat di Manado, kiai Hasyim Arsjad yang memiliki basis keilmuan fiqih masih tetap setia mengasuh jamaah pengajian tiap minggu yang berlatar belakang ibu-ibu rumah tangga, karyawan toko, pedagang, pegawai negeri, hingga mahasiswa. Saya salah satu dari kumpulan mahasiswa yang sempat belajar kepada beliau.
Semasa hidupnya, kiai Hasyim Arsjad adalah sosok yang selalu menjaga wudlu-nya tidak batal sejak subuh hari. Beliau juga tidak pernah marah dengan suara yang keras dan tinggi. Lebih cenderung berdiam diri.
Pada satu kesempatan,di rumah beliau sedang diadakan tasyakuran. Saat itu, di atas meja, beberapa lauk telah dihidangkan. Kiai Hasyim hanya mengambil nasi dan sayuran serta mempersilahkan murid-muridnya.
Saya kemudian menghampiri beliau dan bertanya.
"Yai, kenapa gak makan ayam?"
 "Saya memang tidak makan daging."
"Kenapa, Yai?"
Saya menduga akan muncul penjelasan tentang laku vegetarianisme dalam ajaran Islam. Tapi jawaban yang muncul..
"Saya tidak tega melihat ayam ketika disembelih. Sama juga ketika melihat ikan yang dibanting dulu sebelum dibersihkan."Â
Saya kira kepribadian yang lembut sebagaimana terpancar dari hidup sehari-hari KH. Hasyim Arsjad adalah salah teladan hidup dari buah dari didikan Guru Tua dan Alkhairaat.Â
Teladan lain yang tidak bisa diabaikan dari sosok Guru Tua, selain pendidik, pedagang, beliau juga memiliki karakter darah pejuang: berperang melawan kolonialisme Belanda.
Kehadiran pemerintah jajahan Belanda mengingatkan lagi beliau pada kehadiran Inggris di tanah lahirnya, Hadramaut, kehadiran tatanan kolonial yang memisahkannya dengan tanah lahir tercinta.
Baginya, Indonesia adalah tanah air yang harus dipertaruhkan eksistensinya dari eksploitasi kolonialisme bangsa lain. Tampaknya beliau sepenuhnya meyakini bahwa sebuah bangsa tak bisa mengembangkan ajaran Tuhan yang diyakininya jika merdeka belum menjadi syarat yang terpenuhi secara utuh. Singkat kata, tak ada peradaban luhur bersumber dari ajaran Ilahiah yang terbentuk dari kondisi keterjajahan manusia atas manusia.
Last but not least, kita juga harus tahu bahwa Guru Tua menyenangi sepakbola.
Di Al-Khairaat, para santri memiliki jadwal main sepak bola. Sesekali Guru Tua juga ikut berjibaku menendang bola bersama para santri. Pintar saja tak cukup, manusia juga harus sehat. Ingatlah selalu pepatah latin, "Men Sana in Corpore Sano".
Karya Keulamaan Guru Tua dan Spirit Islam
Dari pergulatan hidup Guru Tua, saya memahami spirit Islam sebagai agama dakwah diterjemahkan dengan melahirkan lembaga pendidikan sebagai soko gurunya. Dari lembaga pendidikan Islam, dimana nilai dan pengetahuan diajarkan, maka syarat utama membangun masyarakat yang dipenuhi oleh praktik nilai-nilai Islam tumbuh sebagai kultur yang hidup di tengah kemajemukan.
Pendidikan membentuk manusia yang bersedia kerja keras dan sabar membangun masyarakatnya di tengah situasi sesulit apapun.
Prinsip ini dicontohkan sendiri oleh Guru Tua yang terus keliling untuk melakukan pengajaran hingga ke wilayah-wilayah yang susah dijangkau akses transportasi, seperti ke polosok desa hingga menyebrang dari satu pulau ke pulau lainnya dengan ditemani murid-muridnya. Aktifitas seperti ini, dengan istiqomah, terus dilakukan bahkan ketika sudah memiliki stok sumberdaya penerus.
Mungkin, lewat aktifitas mengajar keliling itu, beliau hendak berpesan pada kita yang hidup zaman kini bahwa Islam tak bisa menjadi agama rahmat bagi alam raya jika dikurung dalam tembok-tembok tebal tertutup, menjadi agama yang pasif dan terasing dari sekitar. Atau menjadi agama yang 'melayani kekuasaan' sembari mengangkangi umatnya yang tersandera dalam kebodohan dan kemiskinan.Â
Dengan kata lain, menderita formalisme sempit, kaku dan politis. Seperti juga amanah dari karya warisan Gus Dur, yang mengajarkan jikalau nilai-nilai Islam memiliki tantangan berdialog dengan lingkungan sekitar yang plural.
***
Catatan:
Kisah tentang sosok Guru Tua ini bersumber dari buku Sejarah Perjuangan Al-Khairaat dan Kesaksian Para Murid/Santri yang Masih Hidup dalam Kesadaran Murid-murid yang Sekarang dan percakapan dengan murid serta beberapa kawan yang merupakan santri di Al-Khairaat. Dengan kata lain, sumber yang digunakan masih sangat terbatas.
Artikel ini pertama kali ditulis pada 21 September 2010 atau delapan tahun yang lalu dan dipublikasi di laman facebook.
Dipublikasikan ulang di sini untuk pengarsipan sekaligus sebagai sebentuk ungkapan rasa duka mendalam kepada saudara sebangsa di Sulawesi Tengah, khususnya di Palu dan Donggala yang mengalami gempa dan tsunami. Al Fatiha.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H