Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Belajar dari Palu] Merenungi Teladan Guru Tua

30 September 2018   09:05 Diperbarui: 30 September 2018   10:18 2576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Habib Idrus bin Salim Aldjufrie atau Guru Tua | deskgram.net

Kehadiran pemerintah jajahan Belanda mengingatkan lagi beliau pada kehadiran Inggris di tanah lahirnya, Hadramaut, kehadiran tatanan kolonial yang memisahkannya dengan tanah lahir tercinta.

Baginya, Indonesia adalah tanah air yang harus dipertaruhkan eksistensinya dari eksploitasi kolonialisme bangsa lain. Tampaknya beliau sepenuhnya meyakini bahwa sebuah bangsa tak bisa mengembangkan ajaran Tuhan yang diyakininya jika merdeka belum menjadi syarat yang terpenuhi secara utuh. Singkat kata, tak ada peradaban luhur bersumber dari ajaran Ilahiah yang terbentuk dari kondisi keterjajahan manusia atas manusia.

Last but not least, kita juga harus tahu bahwa Guru Tua menyenangi sepakbola.

Di Al-Khairaat, para santri memiliki jadwal main sepak bola. Sesekali Guru Tua juga ikut berjibaku menendang bola bersama para santri. Pintar saja tak cukup, manusia juga harus sehat. Ingatlah selalu pepatah latin, "Men Sana in Corpore Sano".

Karya Keulamaan Guru Tua dan Spirit Islam
Dari pergulatan hidup Guru Tua, saya memahami spirit Islam sebagai agama dakwah diterjemahkan dengan melahirkan lembaga pendidikan sebagai soko gurunya. Dari lembaga pendidikan Islam, dimana nilai dan pengetahuan diajarkan, maka syarat utama membangun masyarakat yang dipenuhi oleh praktik nilai-nilai Islam tumbuh sebagai kultur yang hidup di tengah kemajemukan.

Pendidikan membentuk manusia yang bersedia kerja keras dan sabar membangun masyarakatnya di tengah situasi sesulit apapun.

Prinsip ini dicontohkan sendiri oleh Guru Tua yang terus keliling untuk melakukan pengajaran hingga ke wilayah-wilayah yang susah dijangkau akses transportasi, seperti ke polosok desa hingga menyebrang dari satu pulau ke pulau lainnya dengan ditemani murid-muridnya. Aktifitas seperti ini, dengan istiqomah, terus dilakukan bahkan ketika sudah memiliki stok sumberdaya penerus.

Mungkin, lewat aktifitas mengajar keliling itu, beliau hendak berpesan pada kita yang hidup zaman kini bahwa Islam tak bisa menjadi agama rahmat bagi alam raya jika dikurung dalam tembok-tembok tebal tertutup, menjadi agama yang pasif dan terasing dari sekitar. Atau menjadi agama yang 'melayani kekuasaan' sembari mengangkangi umatnya yang tersandera dalam kebodohan dan kemiskinan. 

Dengan kata lain, menderita formalisme sempit, kaku dan politis. Seperti juga amanah dari karya warisan Gus Dur, yang mengajarkan jikalau nilai-nilai Islam memiliki tantangan berdialog dengan lingkungan sekitar yang plural.

***

Catatan:
Kisah tentang sosok Guru Tua ini bersumber dari buku Sejarah Perjuangan Al-Khairaat dan Kesaksian Para Murid/Santri yang Masih Hidup dalam Kesadaran Murid-murid yang Sekarang dan percakapan dengan murid serta beberapa kawan yang merupakan santri di Al-Khairaat. Dengan kata lain, sumber yang digunakan masih sangat terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun