***
Malam mulai berganti tugas. Dinihari tiba. Kawan sebelah masih saja tidur, nyenyak seperti menggunakan penghangat. Sedangkan saya, malang sekali, sedari berangkat hanya bolak-balik mencari kiat menghalau dingin.
Ia akhirnya turun di Semarang. Syukurlah, colokan charger cuma satu. Saya seorang diri sekarang. Pembatas kursi dinaikkan, selonjoranlah. Lumayan, walau masih belum menang melawan dingin.
Karena terus-terusan tak bisa tidur, mata ini saya ajak jalan-jalan. Memeriksa isi seluruh gerbong. Mencari bahan yang menyibukan pikiran dan berharap membuat gigil tidak berkuasa di pusat kesadaran; semacam pengalihan konsentrasi. Tibalah tatapan pada huruf dan angka yang menjelaskan posisi duduk di setiap deret kursi.Â
Posisi duduk ditentukan oleh deretan angka dan huruf, karena misalnya mulai dari A maka yang terakhir adalah D, sebab hanya ada empat kursi. Dua di kanan, dua di kiri dipisah jalan. A dengan angka ganjil berarti duduk di ujung, dekat jendela. D dengan angka genap berarti ujung yang satu, dekat juga sama jendela.
Karcis saya berabjad D, maka saya harusnya duduk di? Lho, mengapa saya bisa salah membaca? Sialan. Perempuan tadi itu, hiih!
Keputusan siapa duduk di sebelah mana tanpa diskusi, apalagi verifikasi dua arah. Termasuk soal bau! Saya tertipu.Â
Maksud saya, kalau kamu bukan yang terbiasa bepergian dengan kereta, apalagi jenis eksekutif, agak waspada saja. Apalagi terhadap penumpang yang baru tiba dan langsung melakukan "aksi protes". Sedang kau telah cukup berusaha menyesuaikan tampilan sebagai anggota dari kelompok sosial yang sama. (Seolah) Sama-sama menengah dan ngehek!
Curigalah jika ia sedang menyusun taktik. Sejenis siasat agar kenyamanan personalnya tak terganggu. Sorry, tak ada urusan penghargaan terhadap jenis kelamin dalam kereta eksekutif seperti ini. Saya konsumen. Saya sudah membayar, nyamankan saya-ape loe!
Rasanya egoisme seperti itu yang bersuara di kepalanya. Kini gantian tertawa di kepala saya. Mengenaskan! (*0*)
Apa daya, bubur tak pernah kembali menjadi nasi. Saya lihat jam di hape. Duhai, stasiun Pasar Turi masih jauh. Matahari masih bekerja di belahan bumi lain.Â