Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Taktik Manusia Kereta

6 September 2018   21:30 Diperbarui: 16 September 2018   05:17 1936
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Surya - Tribunnews.com

Ini cerita soal jalan-jalan saja. Jalan-jalan di 5 tahun yang lalu.

Pada satu hari, saya diminta mengisi sebuah acara. Yah, semacam nimbrung gagasan antar mahasiswa di pulau Madura. Persisnya di kabupaten Sumenep. Membayar jasa kereta, saya berangkat dari stasiun Gambir, Jakarta. 

Pukul 21.20 WIB, kereta berangkat.

Duduk di gerbong pertama. Masuk dan berjumpa dingin. Kemudian menyusul seorang perempuan muda berkaca mata, berambut panjang dibiar tergerai. Memakai jeans, jaket, sandal merek Crocs dan hape BlackBerry. Saat itu, Blackberry masihah koentji!

"Mas, saya di dekat jendela, kursi saya 5C!" sambil menunjukkan tiketnya. 

"Oh, iya," maklum saya pelan sembari menggeser pantat. 

Belum lama lagi duduk, datanglah pemeriksa tiket. 

"Pak, kok bau?" tanya si cewek lagi. Saya diam saja. 

Singkat cerita kereta makin jauh tinggalkan Gambir. Saya memainkan hape yang semerek tapi beda spek. Lalu aksi memeriksa dua arah pun dilakukan. Entah apa yang dia lihat dari saya: serba hitam, atas hingga bawah. Membawa tas panggul, beralas kaki sandal gunung. Persis dukun. 

Apa yang saya screening darinya?

Wajah? Tak unik, seperti orang Indonesia pada jamaknya. Merek komoditi di tubuhnya? Biasa saja, duga-duga saya. Terus, apa penanda yang membuatnya berbeda? 

Sepanjang tersadar, ia terus saja mengutak-atik rambutnya. seperti menyelidiki ada tidaknya sebangsa kutu di sana. Mungkin juga hanya meluruskan alur rambut yang kusut masai. Sesekali ia membuang pandang keluar jendela kereta yang memantul bayang sendiri. Tanpa melepas jemari dari kepala. 

Memeriksa apa dia disana, Nona? Jangan-jangan. Jangan sampai..

Saya tiba-tiba mencium kemeja hitam saya. Baru tadi sore dilicinkan setrika, dengan bantuan Rapika pula. Kok bisa bau? Celana? Juga baru dipakai walaupun yang itu-itu saja. Rambut? Baru keramas. Rongga mulut? Sudah dua kali digilas Pepsodent. Walau bergaya dukun, saya juga tahu ini kereta untuk pekerja kelas menengah. Berusaha rapi seminimalis mungkin.

Dia kemudian tertidur dengan berlapis penutup. Hape BB-nya di-charger pada satu-satunya colokan listrik di antara kita.

Kita seringkali baru sadar karena muncul situasi yang sebelumnya tak disangka. Baru merasa ada yang kurang fair dalam situasi yang berjalan. Situasi yang menggelisahkan.

Demikian juga saya. Baru gelisah ketika indikator batre di smartphone mulai berubah warna, menguning dari yang hijau. 

Colokan cuma satu dan perempuan itu sudah tertidur. Saya kan perlu menghubungi penjemput di Surabaya atau menelpon panitia di Sumenep. Sudahlah, waktu masih lama, malam belum lagi berpindah dinihari. Selow aja, boy. Saya menenangkan diri. Eh, tapi, bau tadi, berasal dari mana? 

Lupakan, cobalah tidur, batin saya. Dingin ini, sumpah-keterlaluan! 

Di antara dingin, lalu lalang petugas kereta menjaja dagangan. Dari makanan ringan hingga makanan berat. Makin menuju subuh, dingin makin menjadi-jadi. 

Tidakkah dingin yang disengaja ini untuk mengkondisikan lapar? Sengaja demi memuluskan keluarnya uang dari kantong penumpang? Heh, orang di pulau besar ini tak bodoh, mereka membawa makanan dan cemilannya sendiri-sendiri.

Beginilah tubuh yang berada dalam suhu ekstrim mencoba sok kritis terhadap tangan-tangan tak terlihat di balik situasi. 

***

Malam mulai berganti tugas. Dinihari tiba. Kawan sebelah masih saja tidur, nyenyak seperti menggunakan penghangat. Sedangkan saya, malang sekali, sedari berangkat hanya bolak-balik mencari kiat menghalau dingin.

Ia akhirnya turun di Semarang. Syukurlah, colokan charger cuma satu. Saya seorang diri sekarang. Pembatas kursi dinaikkan, selonjoranlah. Lumayan, walau masih belum menang melawan dingin.

Karena terus-terusan tak bisa tidur, mata ini saya ajak jalan-jalan. Memeriksa isi seluruh gerbong. Mencari bahan yang menyibukan pikiran dan berharap membuat gigil tidak berkuasa di pusat kesadaran; semacam pengalihan konsentrasi. Tibalah tatapan pada huruf dan angka yang menjelaskan posisi duduk di setiap deret kursi. 

Posisi duduk ditentukan oleh deretan angka dan huruf, karena misalnya mulai dari A maka yang terakhir adalah D, sebab hanya ada empat kursi. Dua di kanan, dua di kiri dipisah jalan. A dengan angka ganjil berarti duduk di ujung, dekat jendela. D dengan angka genap berarti ujung yang satu, dekat juga sama jendela.

Karcis saya berabjad D, maka saya harusnya duduk di? Lho, mengapa saya bisa salah membaca? Sialan. Perempuan tadi itu, hiih!

Keputusan siapa duduk di sebelah mana tanpa diskusi, apalagi verifikasi dua arah. Termasuk soal bau! Saya tertipu. 

Maksud saya, kalau kamu bukan yang terbiasa bepergian dengan kereta, apalagi jenis eksekutif, agak waspada saja. Apalagi terhadap penumpang yang baru tiba dan langsung melakukan "aksi protes". Sedang kau telah cukup berusaha menyesuaikan tampilan sebagai anggota dari kelompok sosial yang sama. (Seolah) Sama-sama menengah dan ngehek!

Curigalah jika ia sedang menyusun taktik. Sejenis siasat agar kenyamanan personalnya tak terganggu. Sorry, tak ada urusan penghargaan terhadap jenis kelamin dalam kereta eksekutif seperti ini. Saya konsumen. Saya sudah membayar, nyamankan saya-ape loe!

Rasanya egoisme seperti itu yang bersuara di kepalanya. Kini gantian tertawa di kepala saya. Mengenaskan! (*0*)

Apa daya, bubur tak pernah kembali menjadi nasi. Saya lihat jam di hape. Duhai, stasiun Pasar Turi masih jauh. Matahari masih bekerja di belahan bumi lain. 

Peluklah saya dingin, semua-maumulah! Selamat malam, Ingatan..

***

(Jakarta-Surabaya, pada awal Juni, 2013: ditulis ulang untuk mengingatkan!)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun