Dua perhitungan ini, lahir untuk menggugat  basis moral atau dasar etis dari kebijaksaan pembangunan yang beriman pada prinsip teknis-ekonomis semata-mata. Keduanya menuntun saya masuk ke dalam perasaan terpinggirkan, rasa diasingkan dan penderitaan keluarga nelayan yang pesisirnya berubah pesat sebagai pusat jasa dan perdagangan. Pusat yang dijejali oleh deretan mall, gerai fast-food, kedai kopi supermodern semisal Starbucks, dan, rumah-rumah kecantikan berikut hiburan.
Di balik cerita pertumbuhan ekonomi melalui arus investasi dan konsumsi yang dipajang besar-besar dalam laporan resmi BPS, ada narasi penderitaan dan makna diri nelayan yang "disunyikan".Â
Narasi penderitaan yang sering disangka bakal beres dengan ganti rugi material atau politik relokasi. Sementara laut bagi nelayan setali tiga makna dengan tanah terhadap petani: pertaruhan eksistensi diri dan dunia sosial sekaligus martabat diri.
Narasi penderitaan itulah yang saya kejar, telusuri, dalami dan ungkapkan. Usaha mengungkap sosiologis yang membuat dosen wali saya tidak pernah menyimpulkan waktu SMA dulu, kamu pasti anak lulusan IPA. Dan saya gembira.Â
Saya menemukan diri sendiri dalam narasi besar anak manusia yang berusaha memahami penderitaan sebagai kondisi-kondisi yang tidak cukup dimengerti dari penampakan luar kenyataan. Â
Selamat berpulang Opa, terima kasih yang dalam. Terima kasih sudah membantu saya lolos dari jaring perangkap Drop Out!
Rest In Peace.
***
Dimuat ulang di sini demi kepentingan pengarsipan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H