Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peter Berger dan Sosiologi Penderitaan yang Menyelamatkan

29 Agustus 2018   16:11 Diperbarui: 6 Oktober 2019   09:21 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendiang Peter Berger | kerknet.be

Peter Berger wafat pada 27 Juni 2017 dalam usia 88 tahun. Beliau adalah salah seorang teolog Protestan sekaligus sosiolog yang melawan gerakan "Tuhan Telah Mati" di tahun 1960an. Selain itu, dari olah intelektualnya, sosiologi mewarisi pengembangan mazhab interpretatif yang berusaha mengatasi pertikaian "agency vs structure".

Hari-hari sesudah pelaksaan EBTANAS alias Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional adalah hari-hari yang cemas. Cemas yang fundamental. Cemas yang berhubungan dengan kelangsungan eksistensial.

Maksudnya begini. Rasa cemas Pascaebtanas mengapa boleh sedemikian serius dikarenakan, pertama, masih menanti kabar kelulusan yang itu berarti tiga tahun menjalani belajar a la abege lengkap dengan segala rupa drama Galih dan Ratna sudah waktunya diakhiri ke level Catatan Si Boy---ya, kau tahu yang kumaksudlah!

Sedang kedua, kecemasan itu dikarenakan harapan agar boleh menggunakan jins belel, kaos oblong dengan fungsi side A-B selayaknya kaset, serta memelihara rambut tipe Gomes, lantas hilir mudik di kampus yang tidak pernah menjadi lokasi sinetron dengan cerita harian yang berkutat antara si baik dan si jahat.

Singkat kata. Cemas pada dua segi: pantas melepas status pelajar SMA dan layak diterima di perguruan tinggi yang benar ada dalam daftar kementrian pendidikan nasional.

Dua kecemasan ini memang boleh saya lalui pelan-pelan bahkan dengan bonus lulus seleksi UMPTN yang ketika itu memberi saya tantangan untuk belajar di kampus yang menggunakan nama salah satu futurolog generasi pertama intelektual Indonesia Modern. Yang menulis Indonesia di Pasifik.

Senang? Tentu saja. Bahagia? Nanti dulu.

Saya memang ingin berkembang jauh dari tanah lahir, jauh dari rumah agar tahu beda rindu pulang dari kecamatan sebelah dengan rindu pulang dari pulau sebelah. Walau begitu, walau merantau selalu memberi kemungkinan mengalami peristiwa yang baru, saya tetap percaya belimbing wuluh di kebun bapak selalu lebih mengajarkan asam ketimbang dari kebun di halaman kantor pemerintahan yang tidak terurus. 

Kesenangan diterima lewat UMPTN ini berlangsung sebentar saja, terutama ketika tiba-tiba suara-suara nyinyir selayaknya kutukan abadi terhadap anak-anak bengal yang disatukan di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial muncul dari alam bawah sadar, "Mau kerja apa kamu sesudah lulus dari jurusan Sosiologi? Jurusan apa itu? Gazebo...gak zelas, bodooh.."

Sialan! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun