Tell me what you eat and I will tell you who you areÂ
Anthelme Brillat-Savarin (1755-1826)
Hari itu, Lebaran baru saja berlalu. Di sebuah pulau yang indah, di kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kami duduk melingkar. Siap-siap ba onyop!
Di atas tikar, di hadapan lingkaran kami, ikan mangael dikuah, ikan tude dibakar, dabu-dabu iris dengan minyak kelapa kampung serta sepanci sedang papeda masih hangat tersaji.
Aroma sagu, daging ikan, asam jeruk dan wangi minyak kelapa kampung memenuhi kerongongan. Menciptakan ngiler yang hakiki (bahkan ketika saya sedang menulis paragraf ini). Tanpa iklan, apalagi manipulasi kecantikan.
Tak menunggu lama, dua gulungan papeda masuk ke piring dengan kuah ikan. Di piring yang satu lagi, tude bakar sudah bermandikan dabu-dabu iris yang pedisnya di atas rata-rata.
Anda yang amatiran dalam perkara kenikmatan papeda atau ikan bakar yang sedemikian, memang sebaiknya belajar lagi. Sementara yang sudah lama tidak menemui kenikmatan sederhana ini, entah karena merantau atau mulai ter-cepat sajikan, sebaiknya segera bertobat.Â
Mengapa harus?Â
Papeda dan Pengalaman Ekstase
Sodaraku, tidak semua warisan kuliner lokal bisa mengajakmu mengalami "ekstase". Papeda ikan kuah, tude bakar dan dabu-dabu iris hanya segelintir dari yang berkompeten. Kenikmatan kuliner yang berakar dari penemuan yang lokal.Â
Papeda dan Ikan Kuah adalah kerinduan pada Papua dan Maluku.
Di dalam kompleksitas ceritanya, ada kisah tentang pembentukan identitas diri yang salah satu poros peristiwanya adalah menikmati papeda. Sekurangnya ada dua momen yang menandainya.Â
Pada fase pertama ini, menikmati papeda sama dengan membawa subyektifitas pada masa kecil dalam keluarga Papua Kristiani, di Serui. Pada seorang Mama yang selalu menyambut saya dengan sukacita ketika datang ke dapurnya dan mengatakan ingin makan. Bersama anak-anaknya, kami segera duduk melingkar dengan piring yang bersiaga. Sesudah kuah ikan dan papeda bersatu, kami akan makan dengan kegembiraan yang sederhana.Â
Pada mereka, saya diajari bagaimana berbagi kenikmatan bersama-sama. Di dalamnya, ada nilai sama rasa dan kebersamaan (egalitarianisme dan kolektivisme) yang memang kental dalam masyarakat suku di Papua, entah yang di dataran tinggi pun yang di pesisir.Â
Di lain waktu, di masa yang mulai bergerak ke kota, di fase kedua, papeda dan ikan kuah mengawetkan kenangan pada perkumpulan remaja laki-laki SMA di Jayapura. Kumpulan 7 orang lintas suku yang berusaha bisa berakhir pekan bersama dengan memasak dan nonton LCD. Salah satu menu andalannya adalah papeda dan ikan bakar.
Jika sebelumnya, saya mengalami "ekstase papeda" sebagai kreasi Mama, maka kali ini dihadapi sebagai buah dari inisiasi kolaboratif.Â
Persisnya adalah belajar taat pada pembagian tugas di dalam perkumpulan tujuh itu. Ada yang kebagian menyiapkan sagu dan menjarang air. Ada yang kebagian menyiapkan ikan untuk dikuah. Ada yang menyiapkan tempurung dan ikan yang akan dibakar. Ada yang menjadi kepala koki dari semua persiapan ini.Â
Pada kumpulan 7 siswa SMA ini, saya diajari merawat masa remaja dengan memahami pencapaian tujuan dengan ketaatan pada pembagian tugas. Di dalamnya, ada kerelaan memberikan sumbangsih dan kesediaan untuk mendengar yang lain. Atau tentang kepemimpinan dan kerja organisasi.
Selebihnya, ada cerita papeda yang saya temui di sebuah rumah makan kampung di Ternate, Maluku Utara. Yang masih bertahan di antara kota yang berubah ke dalam imajinasi "Water Front City" dengan masifikasi pusat jasa dan perdagangan modern, termasuk gerai makanan cepat saji.Â
Perjumpaan dengan ekstase papeda di sini adalah cerminan dari rumitnya hubungan produksi kuliner dengan kota yang mulai memasukkan diri ke dalam moda konsumsi baru. Melihatnya membutuhkan lensa penglihatan yang bening.
Sociology of Food, Sekedar Penglihatan
Sejarah kuliner memang tidak pernah sesederhana makan-makan. Termasuk juga, tentang segala yang berasal dari masa lampau.
Dalam kajian Sociology of Food, kita bisa melihat begitu beragam tema sosial-budaya-ekonomi-politik yang dibedah dari makanan atau pangan dalam arti yang luas. Buku Food, Power and Agency yang dieditori Jurgen Maschukat dan Bryant Simon, misalnya.Â
Dengan menjangkarkan ide pada warisan intelektual Roland Barthes, Bruno Latour, Pierre Bourdieu, and Michel Foucault, buku ini berusaha menggunakan makanan sebagai lensa dalam menjelaskan (hubungan) agensi dan kuasa politik, ekonomi sosial serta politik yang bekerja di balik setiap pilihan atas makanan dan setiap aktifitas makan.Â
Atau buku yang tak kalah sangar judulnya. Concentration and Power in the Food System: Who Controls What We Eat? yang ditulis Philip H. Howard. Â
Buku yang menginvestigasi kekuatan-kekuatan besar (perusahaan) yang bermain di balik sistem pangan. Philip Howard yang juga adalah presiden pada Agriculture, Food and Human Values Society (AFHVS) berusaha menunjukan bagaimana kekuatan besar itu mengontrol dari urusan benih, pemasaran dan "rekayasa konsumsi" di masyarakat.
Wiih, cadas! Tapi tetap selow, Sodara. Saya juga belum melahapnya. Baru melihat kilasannya di laman Blomsbury.Â
Intinya, kita yang masih makan, minum, bertempat tinggal serta beranak-pinak tahu jika perkara pangan atau makanan memang ihwal super serius. Lapar bukan saja dekat dengan kriminalitas, kerusuhan hingga penggulingan rezim. Lapar adalah ukuran yang tidak boleh ada dalam negara-bangsa yang sedang adu cepat mencapai status "high modernity".
Untuk itulah, para pejabat pemerintahan harus bekerja keras. Sampai-sampai  tega membongkar hutan sagu, menghancurkan warisan pangan lokal, memasifikasi sistem bertani dengan satu jenis (yang belakangan ketahuan dikontrol hulu-hilirnya oleh korporasi tertentu, huhuhu), sembari terus bicara tentang keamanan dan kedaulatan pangan. Hmmm.
Akan tetapi...
Antiklimaks Tubuh dan Vonis atas Konsumsi
Sesudah semua pelukisan ringkas dan sederhana atas timbunan kaya kenangan, sesudah usaha sekedarnya menunjukan pesan dari sosiologi makanan, sebuah arus dekonsumsi tenyata juga mengintai di dalamnya. Di tanah Banggai, Sulawesi Tengah, dekonsumsi itu bekerja.
Ekstase alias serasa hilang dari kehadiran di muka bumi karena pelampauan atas kenikmatan akhirnya berakhir celaka. Akumulasi kenikmatan (ragawi) yang lepas terkontrol ini berakhir dengan naiknya asam lambung, muntah, dan sesak napas. Hampir saja semaput sayanya. Â Â
Sesudah sedemikian lama, saya kembali harus bertemu dokter. Membiarkan diri didedah oleh otoritas keilmuan lain. Mengaminkan sebuah vonis.
"Ada iritasi di tenggorakan," katanya sesudah mengamati kerongkongan yang mulai pelan-pelan melepaskan diri dari wilayah koloni Sampoerna. "Mulai sekarang, kurangi terlalu pedas dan asam, ya. Kopi juga dikurangi," tambahnya.
Saya hanya bisa mengangguk. Ada rasa masygul yang tumbuh membesar sebagai peringatan.Â
Sejenis "jejak hitam" yang ikut menulis sejarahnya dari gambar besar berjudul kenikmatan papeda bergabung dengan suara hati yang mengisahkan ulang sebuah episode jaman kuliah. Jaman dimana kiriman hanya bertahan dua minggu pertama dalam menjaga masa stabil atau normal. Dua minggu sisanya adalah pertempuran mengendalikan rasa lapar dengan pertolongan cepat saji bernama supermi (emangnya ada yang lain?).
Konsumsi pada kuliner dan warisan rasa yang berlebih dari daya tahan tubuh (saya memang belum tua, hanya lalai sedikit) akhirnya melahirkan kewaspadaan. Segala yang melampaui batas memiliki bahayanya sendiri-sendiri.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H