"Aku kehilangan banyak teman, begitu pun denganmu."
"Mereka adalah kehilangan terbesar bagi kita berdua tapi kita tahu kematian menghampiri kita semua."
"Jangan menoleh ke belakang, temanku. Pergilah dengan baik, sebagian dariku ikut mati bersamamu."Â
Joseph Blocker menjabat erat Yellow Hawk. Mata mereka saling menatap, seperti memeriksa ketulusan di balik kata-kata yang tidak mudah diucapkan. Pasalnya, Blocker dan Hawk bukan semata wakil dari pendatang dan pribumi atau antara si kapten tentara dan kepala suku Indian. Keduanya juga adalah hidup yang pernah berusaha saling membunuh dalam pertempuran di masa-masa terakhir American Indian Wars.Â
Blocker baru saja kembali dari memburu seorang Apache dan mendapat perintah mengantar pulang Yellow Hawk ke kampung halamannya di Montana. Kepala suku Cheyenne ini telah sepuh dan sakit-sakitan. Perintah datang langsung dari presiden sebelum dirinya pensiun. Jelas tidak mudah bagi Blocker mengemban tugas ini karena kehilangan teman-temannya di tangan pasukan suku Yellow Hawk. Ada timbunan dendam dan kesedihan yang membuatnya selalu bengis di hadapan suku-suku Indian.Â
Di saat bersamaan, seorang ibu bernama Rosalee Quaid baru saja mengalami tragedi brutal. Suami serta tiga anaknya dibantai oleh serombongan Comanche. Dia menjadi janda sebatang kara yang mendekati gila sebelum diselamatkan rombongan Blocker yang tengah bergerak mengantar pulang Yellow Hawk. Â Rosalee akhirnya bergabung dalam perjalanan yang membawa mereka bertemu dengan tragedi yang lain.
Pertama, rombongan Comanche yang tak pernah pandang bulu dalam membantai itu kembali menyerang rombongan Blocker. Dua anak buahnya menjadi korban. Salah satunya sekarat, satunya lagi mati di tempat. Peristiwa ini menjadi pintu masuk dari kerja sama antara Yellow Hawk dan Joseph Blocker. Kedua, Rosalee bersama menantu dan anak perempuan Yellow Hawk yang sedang membersihkan peralatan bekas makan, diculik oleh tiga orang pemburu kulit. Mereka diperkosa dan disekap.Â
Ketiga, tugas tambahan membawa seorang narapidana eks-militer yang membunuh sebuah keluarga dengan kapak, justru melahirkan malapetaka tambahan. Dua orang anak buah Blocker kembali meregang nyawa karena berusaha menghentikan narapidana yang mencoba meloloskan diri.Â
Keempat, puncak tragedi mereka adalah manakala tiba daratan di Montana sesudah perjalanan dari New Mexico. Seorang berlagak tuan tanah tidak berkenan dan menyuruh mereka meninggalkan wilayah tersebut. Yellow Hawk sendiri sudah wafat dan baru dimakamkan. Blocker yang selalu patuh menjalankan tugas tentu saja menolak. Adu tembak tak bisa dihindari. Kematian kembali menghampiri dan hanya menyisakan Rosalee, Blocker serta cucu laki-laki Yellow Hawk.
"No Peace Without Sacrifice": Luka hanya Sembuh oleh Lembing yang Melukainya
Hostiles memang tidak seperti film Invictus (2009), yang bercerita bagaimana politik rekonsiliasi paska-Apartheid dilakukan Mandela lewat medium olahraga. Era Mandela telah jauh lebih modern. Ilmu politik, hukum dan sejarah telah menjadi perangkat saintifik yang terlibat dalam pengorganisasian masyarakat. Tentu saja bersama ironi-ironinya.Â
Dalam pelukisan yang lebih faktual, di era masyarakat yang dituntun oleh kepercayaan pada sains, khususnya dalam penyelidikan masa lalu, kita tahu perkara-perkara dari masa lalu yang dipenuhi tragedi, tidak lekas-lekas bisa dimaafkan. Maksud saya, kebenaran historis yang disampaikan oleh pembuktian sains tidak otomatis membuat segala sesuatu menjadi mudah secara politis.Â
Di satu sisi, ini berurusan dengan kemampuan jiwa menampung segala luka, kepedihan dan trauma kedalam kapasitas memberi maaf (terutama sebagai korban). Sedang di sisi lainnya, berkaitan dengan keberaniaan politis dalam menegakkan keadilan untuk semua. Kita berada dalam situasi seperti ini jika bicara soal "Tragedi September 65".Â
Lantas, bagaimana kemampuan memaafkan dan rekonsiliasi dimunculkan pada Amerika di kurun waktu 1892, sekurang-kurangnya lewat pelukisan sinematik?Â
Ada dua hal boleh disimak dari film ini. Pertama, konteks yang berdiri dari masa lalu dan masa kini, antara perang menuju damai serta perjalanan berbahaya dari New Mexico ke Montana. Kedua, dari hubungan antar tokoh, dari warisan konflik menuju rekonsiliasi dan kerja sama. Mari kita lihat satu per satu.
Hostiles yang naskahnya ditulis sendiri oleh Scott Cooper boleh disebut sebagai kisah yang memberi konteks dari bagaimana kerja sama anak manusia melampaui tragedi, trauma serta dendam yang mengancam masa depan bersama. Lewat film yang berdurasi sekitar 133 menit ini, kita bisa pula melihat bahwa masa depan yang dipertaruhkan bukan akibat perang yang masih saling memangsa.Â
Sebaiknya, justru karena perang yang mulai surut, ketika negara hukum mulai ditegakkan, kesetaraan rasial mulai menjadi norma umum dan perjuangan lintas suku, kelahiran bangsa mulai pelan-pelan membayang di cakrawala, ada masa lalu yang belum sepenuhnya dibereskan. Dengan kata lain, transisi sejarah yang seperti ini adalah momen kritis yang menentukan arah masa depan.Â
Masa lalu yang belum selesai itu terwakili dalam sosok Joseph Blocker dan Yellow Hawk juga Rosalee Quaid. Dua yang pertama, pernah ingin saling memusnahkan dan kehilangan teman-teman dekat dalam pertempuran; alat-alat hidup dari kekerasan politik. Sedang Rosalee lebih sebagai korban dari warisan pertikaian Blocker dan Hawk. Mereka sejatinya jiwa-jiwa dengan rasa sakit dan penglihatan yang muram terhadap masa depan.
Di saat yang sama, perjalanan yang menghabiskan jarak tempuh sekitar 1000 mile ini adalah pertaruhan atas hidup yang menyusut harapannya. Sebabnya adalah masih eksisnya watak barbar dengan kekerasan sebagai sarana untuk menegaskan eksistensi. Barbarisme ini diwakili oleh rombongan Comanche yang membantai keluarga Rosalee serta seregu pemburu kulit--mengingatkan pada The Revenant(2015) yang diperankan Leonardo di Caprio--yang memperkosa tiga perempuan dalam rombongan. Â Â
Bagaimana mereka mengalahkan trauma dan dendam? Bagaimana "sang Anglo-Saxon" (Kolonialis) dan "sang Indian" (Indigenous) saling memaafkan demi memperjuangkan hidup yang telah susut harapanya?
Di kondisi seperti ini, kita harus melihat serangan sepanjang perjalanan sebagai bentuk sosiologis dari ungkapan "Luka hanya sembuh oleh lembing yang melukainya". Atau kita bisa mengatakan bagaimana tragedi menjadi sarana pembebas manusia dari tragedi sebelumnya. Dalam perjumpaan yang demikian, kualifikasi manusia ditentukan: memilih ke watak subhuman atau melampauinya.Â
Blocker, Hawk dan Rosalee memilih untuk melampaui. Bukan karena ketakberdayaan namun di saat mereka berada pada situasi yang memiliki banyak pembenaran menjadi brutal. Salah satunya lewat dialog yang terjadi antara Blocker dan Hawk, sebagaimana tertulis di pembuka catatan ini. Yang lainnya, adalah saat Rosalee dan Blocker berdialog tentang arti kehadiran tuhan di tengah penderitaan yang mereka alami.Â
"Apakah kau percaya Tuhan?" tanya Rosalee.
"Aku percaya. Tetapi Tuhan sedang buta terhadap apa yang tengah terjadi di tanah ini," balas Blocker.Â
"Kalau aku tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan, apalagi yang kini kumiliki?!" tanya Rosalee lagi.
Ketiganya memilih berdamai dengan tragedi dari masa lalu dan bersepakat melewati ancaman yang sedang berada di depan langkah. Pada posisi Blocker dan Hawk, keberterimaan terhadap masa lalu dimulai dengan mengakui kesalahan, mengungkapkan kehilangan serta komitmen untuk bekerja sama menyelamatkan hidup bersama. Ini adalah suasana psikis yang hanya mungkin lahir dari kapasitas memaafkan yang hebat!
Singkat kata, film yang dibintangi Christian Bale, Rosamund Pike, Wes Studi serta Ben Foster ini boleh disimak sebagai selingan di tengah atmosfir kehidupan politik nasional yang selalu tak pernah bisa bergerak ke arah rekonsiliasi. Bukan saja di level elit, namun telah pula berkembang menjadi perayaan massa.Â
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H