Aku tidak benar-benar terpisah, Mama.Â
Jauh di depan sana--jauh menurut hitungan langkahku--ayah berjalan tanpa membalikkan badan. Jelas mengabaikanku.Â
"Bapak, aku mau ikut ke pasar."
"Boleh, tapi, tidak ada permintaan. Tidak ada beli mainan."
Percakapan ini terjadi sebelum mama-mama itu mencemaskanku. Aku kira anak-anak harus dibelikan mainan agar memiliki kesempatan untuk pamer kepada teman-temannya. Ini membuat anak-anak gembira. Aku tidak pernah menyadari bahwa TIDAK BELI MAINAN adalah kesepakatan. Kesepakatan sama dengan perjanjian setara yang terlarang dilanggar.Â
Ayahku sedang menegakkan itu. Kepada anaknya yang berumur 3 tahun.
Mengapa anak-anak harus patuh pada kesepakatan? Mengapa orang dewasa harus tampil serius di depan anaknya sendiri? Memang tidak semua mereka begitu, tapi maksudku, tidak bisakah kegembiraan bocah dirayakan toh masa seperti ini tidak terjadi sepanjang hidupnya?Â
Aku berlari kecil dan berharap melampaui jarak ayah. Peristiwa yang tidak pernah terjadi sampai bocah 8 bulan berjuang menjangkau angin di depan mataku.
Aku menemukan aku terperangkap di satu mata
sedang menatap diri sendiri yang menatap entah apa.Â
Waktu pecah berserak. Tidak bergerak,
aku bertahan dan beranjak: Aku jadi jeda.*)
Bocah 8 bulan telah menciptakan pusaran yang menyedot ingatan dari masa yang tadi sulit ku kenang. Kenangan yang menambatkan dirinya, menolak longsor oleh pasang surut waktu dan peristiwa-peristiwa. Kenangan tentang bagaimana laki-laki menciptakan dirinya sebelum mati.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!