Aku melihat bocah 8 bulan merayap. Matanya tertuju ke satu titik. Ia berjuang menjangkau angin yang menari di ujung gorden. Â
Kedua lengannya serasa tertanam pada lantai ubin dan pantatnya selalu terangkat lebih tinggi. Sedang kedua kaki kecilnya yang baru sempat menendang rahim ibunya telah menyerupai orang dewasa yang terlatih berenang dalam angan-angan. Ia hampir tidak bergerak.Â
Kau akan berhenti dan merengek? Memohon pelukan yang mengantarmu ke ujung gorden itu?
Aku bertanya pada hidupku sendiri. Aku mengenang masa-masa yang kini sulit sekali ku ingat.
Bocah 8 bulan itu mencoba ujung jempol kakinya yang sering berlapis kaos kaki sebagai penyangga dan kini ia menungging. Laksana pesawat tempur yang bersiap memuntahkan peluru pada tanah air dimana para penjajah telah merantai masa depannya. Lalu sepasang lengan lemah dipindahkan dengan hati-hati, mungkin sambil mengingatkan usianya, "Kita baru memiliki dua gigi mungil yang sedang belajar mengunyah benda-benda selain puting ibu. Jangan sampai dirampas ubin."
Tubuhnya berpindah pelan. Sebuah titik maju diraihnya. Sebuah keterbatasan sedang dilampauinya.Â
Bocah itu sudah menggenggam angin yang terdiam di ujung gorden. Terus berpindah menjangkau ke ujung kaki meja, tempat di mana angin tak bisa melambai-lambai.Â
Aku kembali mengenang masa-masa yang kini tambah sulit ku bayangkan. Aku ingin berbicara dengan ayahku. Mataku resah.Â
Ihwal yang sulit tadi lantas membuka dirinya agar kumasuki. Bocah itu yang membawaku.
***
Aku kini berjalan pada kota yang semua orang saling mengenal. Kecil dan hangat. Orang-orang berbicara sambil tersenyum. Seorang mama dengan mulut merah pinang menyapaku dengan kecemasan yang menyala, "Adik kecil, mau ke mana?" Mama yang lain berkata ke temannya, "Anak ini mungkin terpisah dari orang tuanya."Â
Aku tidak benar-benar terpisah, Mama.Â
Jauh di depan sana--jauh menurut hitungan langkahku--ayah berjalan tanpa membalikkan badan. Jelas mengabaikanku.Â
"Bapak, aku mau ikut ke pasar."
"Boleh, tapi, tidak ada permintaan. Tidak ada beli mainan."
Percakapan ini terjadi sebelum mama-mama itu mencemaskanku. Aku kira anak-anak harus dibelikan mainan agar memiliki kesempatan untuk pamer kepada teman-temannya. Ini membuat anak-anak gembira. Aku tidak pernah menyadari bahwa TIDAK BELI MAINAN adalah kesepakatan. Kesepakatan sama dengan perjanjian setara yang terlarang dilanggar.Â
Ayahku sedang menegakkan itu. Kepada anaknya yang berumur 3 tahun.
Mengapa anak-anak harus patuh pada kesepakatan? Mengapa orang dewasa harus tampil serius di depan anaknya sendiri? Memang tidak semua mereka begitu, tapi maksudku, tidak bisakah kegembiraan bocah dirayakan toh masa seperti ini tidak terjadi sepanjang hidupnya?Â
Aku berlari kecil dan berharap melampaui jarak ayah. Peristiwa yang tidak pernah terjadi sampai bocah 8 bulan berjuang menjangkau angin di depan mataku.
Aku menemukan aku terperangkap di satu mata
sedang menatap diri sendiri yang menatap entah apa.Â
Waktu pecah berserak. Tidak bergerak,
aku bertahan dan beranjak: Aku jadi jeda.*)
Bocah 8 bulan telah menciptakan pusaran yang menyedot ingatan dari masa yang tadi sulit ku kenang. Kenangan yang menambatkan dirinya, menolak longsor oleh pasang surut waktu dan peristiwa-peristiwa. Kenangan tentang bagaimana laki-laki menciptakan dirinya sebelum mati.Â
Semua lelaki dimulai dari buaian dan keberanian untuk merayap hingga merangkak. Sebelum kelak berlari dan pergi jauh dari rumah. Sepanjang itu, kehidupan dihadirkan dengan kemungkinan-kemungkinan yang harus dipilih. Beberapa lelaki meyakini ini sebagai takdir menjadi pemenang atau pecundang. Beberapa lagi menganggap ini hanyalah pertunjukan komidi putar yang tidak perlu diratapi.Â
Seberapa banyak yang menjadikannya sebagai riset panjang bertema diri sendiri?
***
Orang-orang besar telah mewariskan pesan dari tahun-tahun yang suram dan sepi. Dari hidup yang terjungkal berkali-kali sebelum penerimaan yang penuh rasa tahu diri.Â
Sehingga, barangkali, hidup hari ini hanya terlihat serupa dapur dengan segala rupa buku resep memasak jenis-jenis makanan yang nikmat namun sederhana. Mungkin juga sebuah perpustakaan dengan berjuta buku yang ingin menjelaskan semua hal atau mengingatkan kemalangan-kemalangan dari masa lalu hingga mengapa seorang lelaki adalah tekad yang liat di depan pasang surut.
Kau tinggal pelajari dan menuliskan sejarahmu sendiri.Â
Namun bocah 8 bulan itu, bukan saja hidup yang baru dimulai. Ia seperti kembali dari masa lalu tentang bagaimana sebuah kesepakatan harus ditegakkan di antara sesama lelaki. Di dalamnya, sebuah tekad untuk taat harus diperjuangkan.
Usahanya menyeret pantat mungil yang selalu lebih tinggi dari sepasang lengan yang kepayahan memberiku jeda. Meletakanku dalam persilangan masa lalu dan masa depan yang diam. Seketika juga, peristiwa-peristiwa hanyalah biografi yang tidak pernah bisa selesai ditulis. Sejarah menjadi catatan-catatan kaki yang panjang seperti dalam buku yang kesulitan memisahkan ceritanya sendiri.
Bukan, bocah itu bukan rahasia. Ini hanya tentang bagaimana lelaki menemukan dirinya. Tentang tekad untuk taat pada kesepakatan. Tentang daya tahan yang mengatasi keterbatasan dalam menjangkau angin dalam hening. Sehingga kelak, ketika ia mati, orang-orang mengenangnya secara pantas sebagai lelaki.Â
***Â
*). Dikutip dari baris terakhir sajak Octavio Paz yang berjudul Antara Pergi dan Kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H