Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"China Salesman", Cara Tiongkok Menghadirkan Citra Diri di Afrika

10 Maret 2018   14:38 Diperbarui: 13 Agustus 2019   07:47 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keterangan yang lebih relevan dengan citra-diri Tiongkok dalam China Salesman termuat dalam makalah berjudul China's Soft Power in Africa pada laporan CSIS yang sama. Khususnya pada bagian Diplomacy Engagement yang ditulis Jennifer G. Cooke.

Bilang Jennifer, keterlibatan diplomatik Tiongkok memiliki tiga pesan kunci, yakni Kebersamaan (Solidarity), Kedaulatan (Sovereignty) dan Sama Menang (Win-win). Artinya, citra-diri Tiongkok yang sedang terus direpresentasikan adalah kawan dalam kebersamaan, kawan dalam kedaulatan dan kawan dalam kemenangan.  Secara faktual-politik, usaha menegaskan pesan ini dilakukan Tiongkok dengan menghadirkan dirinya sebagai pemimpin dari kepentingan negara-negara berkembang di forum internasional.

Terkait urusan dalam negeri, Tiongkok lebih memilih pendekatan resolusi konflik dan menunjukan rasa hormat terhadap negara-negara Afrika. Menghindari menggunakan intervensi yang identik dengan pendekatan Barat: menciptakan centeng militer/paramiliter, memecah belah lantas merongrong daulat, dan melahirkan negara-proxy. Semisal yang kini menyeruak tak ada ujung di Timur Tengah sono.

Dalam China Salesman, tiga pesan di atas begitu terasa sebagai ekspresi nilai-nilai politik di balik permainan simbolik yang menggunakan konteks sistem dunia di atas.

Persisnya begini. Yan Jian yang seorang kognitariat ini tampil sebagai sang Tiongkok yang memilih jalan non-konfrontasi dalam memperjuangkan kepentingan bisnis, selain bersikap terbuka dan jujur. Dia juga menawarkan persahabatan dengan orang lokal termasuk kepada Kabba yang ditugaskan membunuhnya. Tidak ada perlawanan balik berupa adu tembak atau mobilisasi satuan elit tempur dari dataran Tiongkok ke daratan Afrika.

Sementara sang Eropa itu tampil dengan wajah ganda. Eropa pertama, bertindak sebaliknya. Seolah sudah diwariskan dari leluhurnya (baca: Tuan-tuan Kolonial Lama), ia justru memainkan taktik sabotase dan pecah-belah sembari menunggu kesempatan mengambil keuntungan ekonomi dan politik. Eropa kedua, menjadi kolaborator Yang Jian. Sehingga apakah bisa dikatakan, Tiongkok jauh lebih berwawasan terbuka dalam benturan tanpa menghakimi sang Eropa sebagaimana Amerika Serikat terhadap komunisme?

Dus, dimanakah posisi Afrika paska-akhir bahagia Yan Jian, Susanna dan DH Telecom?

Bagian ini masih gelap. Yang terlihat adalah Kabba dan Syekh Asaid laksana "martir" di depan arus perubahan besar yang menyertakan pertikaian tingkat tinggi kekuatan-kekuatan besar ini. Betapa oh betapa...

Saya jadi teringat belum makan siang. Sudah dulu yak. Tengkiyuh.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun