Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"China Salesman", Cara Tiongkok Menghadirkan Citra Diri di Afrika

10 Maret 2018   14:38 Diperbarui: 13 Agustus 2019   07:47 4408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster Film China Salesman | IMDb

Ini adalah cerita kesekian tentang sebuah film. Tapi..

Film dimana Mike Tyson dan Steven Seagal bermain dan gak heboh. Dimana, hal uniknya, Seagal bukan saja tidak berperan sebagai jagoan yang tidak pernah dilahirkan untuk terluka, wahaai! Lebih dari yang sudah, jujitsu Seagel ditampilkan kalah adu pukul dengan tinju Tyson. Sampai dibikin pingsan pula! Ajiib.

Duel keduanya terjadi di kedai penjaja minuman beralkohol milik Lauder (Steven Seagal). Lauder adalah lelaki yang memiliki masa lalu sebagai tentara bayaran di Afrika. Tyson sendiri memerankan sosok Kabba, seorang anggota suku asli yang sedang terobsesi menjadi Mesiah. Messiah dari suku Menthulu.

Duel beda aliran disajikan di awal film.

Karenanya, saya hampir menduga, China Salesman adalah film yang mencari keuntungan dari rentetan adegan adu pukul gaya Hollywood; ujung-ujungnya "Whitewashing". Namun, pembukaan cerita yang menampilkan kedatangan dua orang kognitariat perusahaan DH Telecom milik Tiongkok mengerem duga-duga agar tidak jatuh pada penyempitan sudut melihat; Kegagalan melihat "hidden text" sebuah film. 

(Sekadar iklan: menduga-duga di depan sebuah film kini tengah menjadi kemewahan di tengah kuasa selera sinetron yang meluas ke dalam film nasional).

Dua utusan DH Telecom datang untuk memenangkan tender proyek jaringan telekomunikasi di negeri yang sedang menghancurkan diri dengan perang saudara. Perang saudara adalah sesuatu yang khas Afrika hingga melahirkan istilah Afrikanisasi yang mana bermakna keberadaan negara dengan anak-anak bangsa yang berkelahi.

Perang saudara penduduk Utara versus Selatan. Perang yang tiba-tiba memasuki gencatan senjata tanpa perundingan. Lelah, barangkali.

Bersamaan dengan dua utusan Tiongkok, dua utusan dari perusahaan saingan berada dalam mobil di tengah Afrika yang kering, terik dan berdebu. Dua orang bule wakil Eropa. Mereka jelas mempertunjukan kesan berjarak dengan kemewahan transportasi. Bersama dengan perasaan superior manakala si lelaki berujar, "Salesman Tiongkok," ditimpali senyum merendahkan.

Si lelaki itu adalah teman Kabba. Lebih persisnya, memperalat Kabba yang sedang berkobar-kobar jiwa mesianisnya untuk mengawasi aktifitas dua utusan Tiongkok. Termasuk mengambil tindakan-tindakan persekusi apabila keadaan memanggil.

Dalam masa negosiasi kontrak pembangunan telekomunikasi itu, DH Telecom dipastikan akan menang karena inovasi teknologi jaringannya yang sudah satu langkah di depan milik perusahaan Eropa. Tidak ada hal lain yang bisa dilakuan demi menghambat kemenangan ini dengan aksi sabotase dimana Kabba terlibat di garis depan.

Keadaan makin runyam ketika sebuah heli yang membawa petinggi negeri jatuh. Kejadian ini memicu kerusuhan antara anak-anak suku dari Utara dengan Selatan dan mengondisikan mobilisasi armada militer. Perang membayang di ujung mata. Kondisi gawat politik dan militer ini hanya mungkin diredam dengan telpon presiden yang sedang berada di istananya nan mewah dan tenang. Seperti lazimnya, terpisah dari pusat ledakan kerusuhan.

Para staf atau lingkaran dekat Presiden gak bisa ngapa-ngapain. 

Mereka gak ngerti urusan IT yang kontraknya sedang diperebutkan wakil Tiongkok dengan Eropa. Yan Jian, utusan Tiongkoklah, yang menemukan solusi dan boleh memperbaiki infrastruktur komunikasi. Bersama perempuan yang mula-mulanya saingan, mereka berangkat ke lokasi menara.

Sedang si lelaki Eropa menyusun siasat untuk mengacaukan rencana.Ia menginginkan perang terjadi. Kabba ditugasi menghancurkan tiga menara pemancar yang memfasilitasi komunikasi telpon sang Presiden.

Ini ketegangan pertama yang dihadirkan film berlama waktu 110 menit. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Seperti apa ketegangan kedua?

Yan Jian dan Susanna berhasil memperbaiki fasilitas komunikasi sesudah gemburan pasukan Kabba. Menara terakhir yang menjadi kunci memang dihancurkan Kabba namun, secara tiba-tiba saja, pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-bangsa datang membawa pertolongan.

Saat bersamaan, kegagalan memenangkan tender membuat perusahan DH Telecom berada di titik nadir bisnis komunikasi. Ditambah lagi, si culas Eropa itu menggugat Yan Jian yang dituduh menggunakan perangkat keras buatan perusahaannya.

Tanah Air Syekh Asaid dan Kabba selamat dari perang saudara. Krisis berpindah pada Yan Jian dan DH Telecom. Ketegangan belum selesai walau endingnya sudah ketahuan indah pada akhirnya.

Yan Jian akhirnya menemukan sejenis "exit strategy" dari krisis. Dia melepas kode sumber (source code, saya tidak ngerti barang apa dan untuk apa) untuk bisa diakses dan menunjukan sikap terbuka dari perusahaan Tiongkok dan menyelamatkan perusahaan dari bangkrut. Yan Jian dipuji oleh Carlos, presiden direktur dari raksasa binis komunikasi Eropa lainnya. Carlos seorang Latinos.

Si lelaki culas asal Eropa itu? Mampus dibunuh Kabba yang juga berakhir bunuh diri. Sedang nona Susanna? Sesudah melewati segala rupa marabahaya di negeri orang, memangnya ada yang lebih pantas selain sebagai kekasih Yan Jian?

Lantas, apa yang bisa kita ungkap dari narasi seperti China Salesman? Apa yang bisa dicurigai bekerja sebagai, katakan saja itu: "inner capacity building" di dalam "hidden text'?

China Salesman: Soft Power, Afrika dan Citra Diri Tiongkok
Mari kita berangkat dari "permainan simbol yang mengambil konteks sistem dunia" dan sedari awal sudah dipertunjukan Tan Biang, si sutradara yang biografinya masih terbatas dibahas. Titik berangkat ini, semoga saja, akan menyambungkan secara terang usaha memperlihatkan "hidden text" dari film yang kualitas akting dan visualisasinya biasa-biasa saja ini. 

Pertama, wakil Tiongkok dan Eropa mewakili dua lokasi negara-negara besar. Sementara tanah Afrika adalah wilayah yang berada di orbit pinggiran dari sistem dunia. Keduanya datang untuk mengambil manfaat ekonomi dari negeri yang kaya namun terus dipaksa berada dalam kategori negara berkembang.

Kedua, wakil Tiongkok telah sejak awal dicitrakan mewakili sikap-sikap yang bersahabat dan bersaing dengan jujur. Bahkan ketika situasi politik dan keamanan memburuk, wakil Tiongkok berani mengambil peran berbahaya demi menyelamatkan bangsa dari kehancuran berdarah-darah. Sebaliknya, di ujung yang antagonis, sang wakil Eropa adalah sosok yang culas, menghalalkan segala cara dan merayakan kemenangan di atas kehancuran bangsa lain; "The Real Evil"!

Walau begitu, wakil Eropa dalam China Salesman ditampilkan berwajah ganda sebab si perempuan bernama Susanna justru adalah protagonist. Ia merelakan diri, bersama Yan Jian menjemput bahaya demi menghindarkan perang saudara. Ada dialog dimana Yan Jian justru diingatkan agar tidak mengail keuntungan dari situasi oleh si Susanna. Artinya, Tiongkok tidak dicitrakan pahlawan tanpa cacat.

Ketiga, dimanakah posisi "Indigenous People" dalam relasi demikian? Selain pemerintah dan Kabba, ada seorang pemimpin suku kharismatik bernama Sheikh Asaid (Eric Ebouaney)? Mereka hanyalah obyek sejarah dari pertikaian dua negara adidaya ini. Ditentukan siapakah yang menang dari perjuangan Yan Jian atau sabotase si Kabba.

Relasi simbolis yang seperti ini jelas menurunkan jenis narasi sinematik yang sejatinya tidak sederhana walau mungkin tak mampu lolos dari kejadian-kejadian yang klise. Relasi simbolis itu sendiri mencerminkan situasi sistem dunia hari ini. Atau apa yang secara singkat bisa kita sebut "pertarungan geopolitik".

Dalam pertarungan yang secara rutin diberitakan sebagai persaingan Tiongkok versus Amerika Serikat di Afrika, China Salesman adalah jenis film yang memainkan fungsi dari apa yang disebut Joseph Nye sebagai Soft-Power. 

Jika Soft-Power adalah kapasitas sebuah negara-bangsa menggunakan strategi dan teknik persuasif kepada bangsa lain (dengan memaksimalkan tiga basis utama yakni sumberdaya kultural, nilai-nilai politik dan kebijakan luar negeri) terhadap bangsa lain demi mencapai target-target kepentingan nasionalnya, maka China Salesman boleh diduga bagian dari strategi sinematik dalam menunjukan citra-diri Tiongkok di Afrika.

Denise E. Zheng dalam makalah berjudul China's Use of Soft Power in the Developing World (boleh dilihat dalam Laporan CSIS Smart Power Initiative yang berjudul China's Soft Power and Its Implications for the United States: Competition and Cooperation in Developing World; Maret 2009) menyebut jika perangkat soft-power Tiongkok sedikitnya terdiri dari lima komponen. Yaitu: Investasi, Bantuan Kemanusiaan, Program Pertukaran, Diplomasi dan Partisipasi di dalam lembaga Multilateral.

Ekspansi Tiongkok ke Afrika, kata Denise, didorong oleh kebutuhan sumberdaya energi, bahan mentah, dan akses untuk pasar baru dari barang-barang manufaktur murah. Ditambahkannya, dari tahun 1997 sampai dengan 2016, para pejabat pemerintah telah berkunjung ke ibu kota negara-negara di Afrika. Saat bersamaan, lebih dari 60 orang ketua-ketua partai di Afrika yang berkunjung ke Beijing. Kunjungan bolak-balik yang intensif.

Keterangan yang lebih relevan dengan citra-diri Tiongkok dalam China Salesman termuat dalam makalah berjudul China's Soft Power in Africa pada laporan CSIS yang sama. Khususnya pada bagian Diplomacy Engagement yang ditulis Jennifer G. Cooke.

Bilang Jennifer, keterlibatan diplomatik Tiongkok memiliki tiga pesan kunci, yakni Kebersamaan (Solidarity), Kedaulatan (Sovereignty) dan Sama Menang (Win-win). Artinya, citra-diri Tiongkok yang sedang terus direpresentasikan adalah kawan dalam kebersamaan, kawan dalam kedaulatan dan kawan dalam kemenangan.  Secara faktual-politik, usaha menegaskan pesan ini dilakukan Tiongkok dengan menghadirkan dirinya sebagai pemimpin dari kepentingan negara-negara berkembang di forum internasional.

Terkait urusan dalam negeri, Tiongkok lebih memilih pendekatan resolusi konflik dan menunjukan rasa hormat terhadap negara-negara Afrika. Menghindari menggunakan intervensi yang identik dengan pendekatan Barat: menciptakan centeng militer/paramiliter, memecah belah lantas merongrong daulat, dan melahirkan negara-proxy. Semisal yang kini menyeruak tak ada ujung di Timur Tengah sono.

Dalam China Salesman, tiga pesan di atas begitu terasa sebagai ekspresi nilai-nilai politik di balik permainan simbolik yang menggunakan konteks sistem dunia di atas.

Persisnya begini. Yan Jian yang seorang kognitariat ini tampil sebagai sang Tiongkok yang memilih jalan non-konfrontasi dalam memperjuangkan kepentingan bisnis, selain bersikap terbuka dan jujur. Dia juga menawarkan persahabatan dengan orang lokal termasuk kepada Kabba yang ditugaskan membunuhnya. Tidak ada perlawanan balik berupa adu tembak atau mobilisasi satuan elit tempur dari dataran Tiongkok ke daratan Afrika.

Sementara sang Eropa itu tampil dengan wajah ganda. Eropa pertama, bertindak sebaliknya. Seolah sudah diwariskan dari leluhurnya (baca: Tuan-tuan Kolonial Lama), ia justru memainkan taktik sabotase dan pecah-belah sembari menunggu kesempatan mengambil keuntungan ekonomi dan politik. Eropa kedua, menjadi kolaborator Yang Jian. Sehingga apakah bisa dikatakan, Tiongkok jauh lebih berwawasan terbuka dalam benturan tanpa menghakimi sang Eropa sebagaimana Amerika Serikat terhadap komunisme?

Dus, dimanakah posisi Afrika paska-akhir bahagia Yan Jian, Susanna dan DH Telecom?

Bagian ini masih gelap. Yang terlihat adalah Kabba dan Syekh Asaid laksana "martir" di depan arus perubahan besar yang menyertakan pertikaian tingkat tinggi kekuatan-kekuatan besar ini. Betapa oh betapa...

Saya jadi teringat belum makan siang. Sudah dulu yak. Tengkiyuh.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun