Jika nanti air mataku terbit di matamu
dan air matamu terbenam di mataku,
maaf selesai dan cinta kembali dimulai.
[Pulang, 2016]
Buku Latihan tidur merupakan kumpulan puisi terkini Joko Pinurbo. Sebelumnya, sejak tahun 1999, penyair yang keren disapa Jokpin telah menerbitkan 12 buku kumpulan puisi. Dua diantaranya, yakni Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016) dan Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016) telah saya baca berulangkali dengan ketakjuban yang konsisten.
Jika pada Selamat Menunaikan Ibadah Puisi, pembaca diajak menikmati karya-karya yang terentang diantara tahun 1989 hingga 2012, maka Buku Latihan Tidur menyajikan karya yang dilahirkan dalam kurun 2012-2016. Keseluruhan ada 45 puisi dengan pengolahan kata yang membuat penikmatnya senyum-senyum tak percaya. Seperti yang sudah-sudah, segar-bergembira.
Saya ambil satu penggal dialog dalam puisi Kemacetan Tercinta.
"Selamat malam, Bu. Apakah di tengah
kemacetan ini kecantikan masih berguna?"
Ibunya tidak menjawab, malah berkata,
"Kemacetan ini terbentang antara hati
yang kusut dan pikiran yang ruwet.
Kamu dan negara sama-sama mumet."
Demi kemacetan tercinta ia rela menjadi tua
di jalan; ia rela melupakan umur.
Hanya ketika di Jakarta, saya pernah mendengar ungkap orang-orang menghabiskan umur di jalanan. Jokpin membuatkan puisi yang membuat ungkapan itu terbaca lebih tabah; subtil. Â Lebih dari itu, Jokpin memberi pengertian baru terhadap macet yang sering menjadi pangkal segala dongkol bagi warga kota yang sibuk dan serba efisien. Dalam puisinya, kemacetan adalah kondisi berakar dalam suasana diri yang tidak mampu berdamai: tumbuh dari persilangan hati yang kusut dan pikiran yang ruwet.
Tentu saja, ada karya yang lebih ajaib atau paling menonjol dari kumpulan puisi terkininya. Bagi yang sudah membaca, saya rasa, satu yang ajaib itu adalah Kamus Kecil.
Pertama kali menyimak puisi ini dari sebuah dialog tentang Apa itu Puisi? yang dipandu Najwa Shihab. Jokpin dan Sapardi Djoko Damono sebagai narasumbernya.
Jokpin membacakan Kamus Kecil yang kala itu masih dalam manuskrip. Â Videonya bisa disimak di bawah ini.
Kamus Kecil adalah permainan bunyi yang bukan sembarang bunyi tetapi bukan pula mantera seperti dalam puisi Sutardji.
Jika puisi Sutardji, mengikuti argumentasi Ignas Kleden, berusaha melakukan dekonstruksi sejak dalam pilihan diksi hingga memperkenalkan kredo bahwa "kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea", Kamus Kecil rasanya adalah sejenis pertunjukan (kembali) olah kata yang membuat kalimat terlahir dalam makna segar bugar.
Saya kutipkan bait pertamanya saja:
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
    ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
    gembira, sedang pemulung
    tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
  menjadikan kau merasa aman.
Hubungan bunyi di dalam kalimat tersusun dari perkawinan adjektif yang terdengar bertentangan sekaligus menegaskan sesuatu yang hakiki dari kisah-kasih, ingin-angan, ibu-iba, ramah-marah, bintang-banting, gagah-gigih, paham-hampa, hantu-tuhan, dera-reda, asa-asu serta amin-iman-aman.
Yang hakiki adalah manusia itu sendiri bersama sejarah pasang tumbang hidupnya. Lengkap dengan pertentangan-pertentangan dalam dirinya.
Perkawinan ini ikut pula mengingatkan jika makna tak ada di dalam kata-kata, bahkan tak juga di antara kata. Makna datang ibarat getar yang menggugah walaupun hanya sementara. Makna bukanlah sesuatu yang serupa sinar laser: terang, lempang, lurus, tajam dan sempit. Ia tak mendesak dan menjepit (Goenawan Mohamad, Fragmen; 2016: 77).
Karena kata dan makna bukanlah sinar laser, Kamus Kecil ini telah hadir ibarat danau yang tenang di tengah padang gersang formalisasi bahasa. Apalagi ketika bersua dalam percakapan (politik) yang bertempur caci maki di media sosial, Kamus Kecil adalah puisi yang menggetarkan, bukan membebaskan.
Semacam bunyi yang kembali kepada sunyi, sebelum kata-kata dikawinpaksakan dengan benci.
Karena itu, barangkali kata dan makna yang menggetarkan ini tampaknya makin mendesak dihadirkan untuk memberi ruang bagi yang privat keluar dari pertengkaran kata karena kehendak mewakili kebenaran. Â Paling tidak melakukan moratorium diri.
Selain itu, Buku Latihan Tidur juga memuat permenungan puitik Jokpin terhadap gejala orang-orang beragama. Puisi-puisi yang menyuarakan kecemasan akan gejala formalisme dan pertunjukan klaim-klaim kebenaran yang mengancam cinta dan kemanusiaan.
Kita bisa menyelaminya dalam Sajak Balsem untuk Gus Mus, Kolom Agama, Pemeluk Agama, Jalan Tuhan, Misal, Pisau, dan Sebuah Cerita untuk Gus Dur yang kali ini terbaca sebagai kritik.
Dalam puisi Pisau misalnya, Jokpin menunjukan ungkap ironi dan gairah keberagaman manusia yang terperangkap fanatisme alias pembengkakan sudut pandang; terjangkiti simptom mutlak-mutlakan:
Ia membungkus pisau dengan nama-Mu.
Ia ingin melukai Kau dengan melukaiku Â
(2016)
Secara 'naratif', kondisi itu lebih terlihat jelas dalam bait pertama Sajak Balsem untuk Gus Mus.
Akhir-akhir ini banyak
orang gila baru berkeliaran, Gus.
orang-orang yang hidupnya
terlalu kencang dan serius.
Seperti bocah tua yang fakir cinta.
Dua puisi ini mencerminkan konteks harian yang sudah kita mengerti bersama. Yakni manakala agama dibawa masuk kedalam perseteruan politik. Politik yang membuat kebertuhanan menjadi sederhana dan lantas ikut berkubu-kubu dalam perebutan perkara duniawi yang sementara dan penuh tipu muslihat.Â
Dalam politik sedemikian itu, seolah-olah tuhan menciptakan dua kubu dimana salah satu menjadi aliansi, satunya lagi adalah musuh abadi. Puisi Jokpin, bagi saya, adalah peringatan agar terus berhati-hati. Apa yang terjadi di politik Jakarta barulah ujicoba perdana.
***
Buku Latihan Tidur adalah teks Jokpin yang masih menjadi saksi dari kepiawaiannya menyegarkan makna melalui kata-kata atau kata-kata itu sendiri. Selain menyelipkan sudut pandang yang kritis terhadap kondisi tertentu, unsur-unsur yang jenaka, ironik, romantik juga tragik masih tetap menonjol dan, seperti yang sering saya alami, merawat ketakjuban yang setia.
Kumpulan puisi kali ini mungkin semacam teks peralihan sebelum Jokpin menemukan satu bunyi baru yang belum sempat digarapnya ketika membahas telepon genggam, kamar mandi, celana, atau sarung. Jokpin dalam sebuah wawancara pernah mengatakan kehendaknya untuk "hijrah puitik".
Saya kira begitu saja. Tak berani lagi diri ini berpanjang-panjang sesudah dibekap perasaan segar. Rasa segar yang mungkin sementara atau akan segera ditinggalkan oleh peristiwa harian dimana Bahasa kembali dibenamkan kedalam kata-kata yang resmi, yang membutuhkan arti yang terang, yang menjadi ruang bersama orang banyak.
Pada akhirnya, yang segar itu adalah semacam rumah kata yang mengharuskan sendiri. Dan ketika kesegaran itu telah disetubuhi kesadaran, maka kata-kata yang berambisi untuk memberi penjelasan sebaiknya memilih tidur.
Tidur yang seperti bait terakhir dari Buku Latihan Tidur.
Buku Latihan Tidur pun tertidur, kata-kata
tertidur, dan ia minta selamat kepada tidur.
Tidur: alamat pulang paling pasti
ketika kata-kata kehabisan isi dan tak tahu lagi
kemana akan membawamu pergi.
Tidur: mati sunyi di riuh hari.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H