Kamus Kecil adalah permainan bunyi yang bukan sembarang bunyi tetapi bukan pula mantera seperti dalam puisi Sutardji.
Jika puisi Sutardji, mengikuti argumentasi Ignas Kleden, berusaha melakukan dekonstruksi sejak dalam pilihan diksi hingga memperkenalkan kredo bahwa "kata-kata haruslah bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea", Kamus Kecil rasanya adalah sejenis pertunjukan (kembali) olah kata yang membuat kalimat terlahir dalam makna segar bugar.
Saya kutipkan bait pertamanya saja:
Saya dibesarkan oleh bahasa Indonesia
yang pintar dan lucu walau kadang rumit
dan membingungkan. Ia mengajari saya
cara mengarang ilmu sehingga saya tahu
bahwa sumber segala kisah adalah kasih;
bahwa ingin berawal dari angan;
bahwa ibu tak pernah kehilangan iba;
bahwa segala yang baik akan berbiak;
bahwa orang ramah tidak mudah marah;
bahwa seorang bintang harus tahan banting;
bahwa untuk menjadi gagah kau harus gigih;
bahwa terlampau paham bisa berakibat hampa;
bahwa orang lebih takut kepada hantu
    ketimbang kepada tuhan;
bahwa pemurung tidak pernah merasa
    gembira, sedang pemulung
    tidak pelnah melasa gembila;
bahwa lidah memang pandai berdalih;
bahwa cinta membuat dera berangsur reda;
bahwa orang putus asa suka memanggil asu;
bahwa amin yang terbuat dari iman
  menjadikan kau merasa aman.
Hubungan bunyi di dalam kalimat tersusun dari perkawinan adjektif yang terdengar bertentangan sekaligus menegaskan sesuatu yang hakiki dari kisah-kasih, ingin-angan, ibu-iba, ramah-marah, bintang-banting, gagah-gigih, paham-hampa, hantu-tuhan, dera-reda, asa-asu serta amin-iman-aman.
Yang hakiki adalah manusia itu sendiri bersama sejarah pasang tumbang hidupnya. Lengkap dengan pertentangan-pertentangan dalam dirinya.
Perkawinan ini ikut pula mengingatkan jika makna tak ada di dalam kata-kata, bahkan tak juga di antara kata. Makna datang ibarat getar yang menggugah walaupun hanya sementara. Makna bukanlah sesuatu yang serupa sinar laser: terang, lempang, lurus, tajam dan sempit. Ia tak mendesak dan menjepit (Goenawan Mohamad, Fragmen; 2016: 77).
Karena kata dan makna bukanlah sinar laser, Kamus Kecil ini telah hadir ibarat danau yang tenang di tengah padang gersang formalisasi bahasa. Apalagi ketika bersua dalam percakapan (politik) yang bertempur caci maki di media sosial, Kamus Kecil adalah puisi yang menggetarkan, bukan membebaskan.
Semacam bunyi yang kembali kepada sunyi, sebelum kata-kata dikawinpaksakan dengan benci.
Karena itu, barangkali kata dan makna yang menggetarkan ini tampaknya makin mendesak dihadirkan untuk memberi ruang bagi yang privat keluar dari pertengkaran kata karena kehendak mewakili kebenaran. Â Paling tidak melakukan moratorium diri.