"Where there is power, there is resistance."
Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1: An Introduction
Sebaris kalimat tidak pernah bisa dimengerti jika ia diceraikan dari paragrafnya. Sama juga mengatakan, sebuah ide tak pernah dipahami jika ia kehilangan daya tampung bahasa. Sama pula ketika mengatakan, sesosok Raisa tak pernah mengada selama ia kehilangan dukungan budaya popnya..uhuuk.
Demikian juga doa seorang mantan menteri dan sekarang masih laku sebagai bagian dari rezim representasi politik. Doa yang meminta Tuhan menggemukan tubuh Presiden yang terlihat kurus namun memiliki mental baja untuk bekerja keras, bla..bla..bla.. Dus, jangan buru-buru menghakimi Yang Mulia Anggota Dewan Perwakilan itu.
Karena itu juga, sudahilah beramai-ramai meributkan doa. Sebab ketika ia dilantunkan tak ada manusia fana yang bisa mewujudkannya menjadi nyata tanpa persetujuan subyek dimana doa dipermohonkan. Jadi, mari memulai percakapan kali ini dengan kalimat-kalimat pembuka di atas dalam ungkap yang sedikit puitik: tak ada sejarah kurus tanpa sejarah penaklukan tubuh!
Atau, kalau kita bertanya dengan sedikit menggunakan kerumitan gagasan, dengan menggunakan "kecurigaan biopower": relasi kuasa seperti apa yang tersembunyi dari pemujaan terhadap jenis tubuh tertentu, maka mulailah dengan ber-ide di dalam tubuh yang gemuk/kurus, tersimpan "kegagalan penyembahan ideologi sukses" yang sakit.
Maksud saya adalah, hari ini, di kekinian ini, gemuk dan kurus adalah keberadaan dalam dua kuadran yang sama malangnya. Perbedaan kontras pada atribut fisikal bukanlah sebab utama yang perlu diratapi.
Pada yang pertama--yang didoakan Tuan Tifatul itu--menjadi gemuk justru menjadi "sesuatu yang tak cekatan, lamban, boros-ngos-ngosan, di tengah persaingan waktu industrial". Waktu yang harus selalu efektif, efisien serba terukur dan menguntungkan. Sebab, Taim is mani!
Sama juga, pada realitas gemuk yang ekstrim (: obesitas), kita melihat tubuh yang didera oleh kegagalan, atau paling kurang, kesulitan hidup menurut kitab suci sehat peradaban modern. Dalam banyak cerita, tubuh yang oversizesering tak lebih dari dunia tak berdaya (anak-anak) yang menjadi koloni dari gurita Junk-food.Dan, tentu saja, kebodohan generasi produk iklan yang merasa setiap hari makan di McD, Pizza Hut atau KFC adalah gaya hidup kelas atas.Â
Demikian halnya dengan yang kurus.Â
Kurus adalah realitas yang hadir di luar proporsionalitas(saya akan kembali ke sini), sekedudukan dengan gemuk. Pada kondisi kurus yang ekstrim, fatwa-fatwa medikal modern akan mempretelinya dengan macam-macam istilah yang kesemuanya berputar-putar pada kekurangan gizi atau pola hidup sehat--hal yang tak pernah gratis dan mustahil terjadi pada seorang presiden! Artinya, pada ekstrimitas kurus, ada sejarah tubuh yang kalah dalam persaingan modern.
Tapi kita tahu, kisah yang kurus tak melulu gagal asupan gizi. Kurus atau menjadi kurus memiliki riwayat kelam sejarah kolonial. Kurus menyimpan narasi tragis manusia yang ditindas dan dihinakan hidupnya, korban dari exploitation de l'homme par l'homme. Mengalami kurus dalam kondisi seperti ini adalah menjalani nasib yang dipaksakan oleh ketamakan rezim ekonomi-politik-militer tertentu.
So, kurus atawa gemuk tidak selalu merupakan perkara biologi dalam dirinya. Selevel pengertian dengan kecantikan atau kegantengan, mereka tak pernah eksis karena dirinya sendiri. Perlu contoh? Mari mengambil kasus mutakhir.Â
Belum lama berselang, sebuah organisasi bernama Centre for Advanced Facial Cosmetic and Plastic Surgery yang berdomisili di London, Inggris merilis riset mereka yang mengatakan demikian:
Studi ini menggunakan Golden Ration, yakni suatu bentuk pengukuran untuk mendeteksi simetris wajah. Caranya ini mengidentifikasi selebriti pria mana yang paling tampan dan simetris wajahnya secara objektif.
Harry masuk dalam kategori pria dengan mata terindah karena panjang matanya dan jarak antara kedua matanya, 98,15 persen dari rasio yang sempurna.
Untuk dagu, hasil studi menunjukkan lebar dagu yang diukur dari titik pertengahan paling tidak harus 1,618 kali panjang bibir. Dagu Harry adalah 99,7 persen dari rasio ini.
Kegantengan dimatematikakan? Yang ganteng adalah yang susunan jidat, hidung, bibir dan dagu dalam relasi simetris (baca: proporsional)?
Poin besarnya adalah tak jarang, di era perkawinan yang ganjil antara saintisme dan konsumerisme, perkara tubuh bermutasi menjadi perkara politis. Menjalani hidup sebagai kurus atau gemuk seolah menerima kutukan tubuh yang gagal dalam perkawinan penuh nafsu dua kekuatan itu. Sederhananya, dalam bahasa yang latency, Gemuk atau Kurus harus terus ada agar rumah sakit, gym, rumah perawatan tubuh, industri kecantikan, kontes-kontesan ratu tingkat RT sampai dunia memiliki kerjaan dan ceritanya. (uuppps)
Lantas bagaimana tubuh yang berhasil? Tubuh yang menjadi anak kandung pewaris ajaran suci persilangan masokis saintisme dan konsumerisme?
Yup, sekali lagi dan selamanya: tubuh yang mewakili proporsionalitas.Â
Tubuh yang bisa dihitung kebutuhan kalori, dan kawan-kawannya itu. Tubuh yang selalu segar dan cekatan bergerak di pusat-pusat bisnis dan keuangan atau kantor pemerintahan dengan birokrasi yang memuakkan. Tubuh yang keluar dari loby-loby hotel berbintang sesudah menghadiri rapat tingkat eksekutif papan tengah ke atas. Tubuh yang memiliki liburan rutin ke kota-kota utama di dunia. Tubuh yang rajin nge-gym dan diet ketat L-men lantas selfie dengan paha dipangku dan kepala dimiringkan!
Maka, jelas sudah jika ini bukanlah jenis tubuh serupa Paman Gober apalagi Gerombolan Siberat! Lebih-lebih tubuh yang suntuk melawan kantuk di sidang paripurna DPR/MPR.
Tubuh seperti ini adalah tubuh yang menyerap dan mewujudkan dengan sungguh-sungguh ideal-ideal tubuh kekinian: atletis, karir top, gaya hidup urban yang sehat, dan global minded meeen. Pada mereka ini, sejarah masa depan sedang menitipkan narasinya. Inilah proporsionalitas dimaksud itu. Inilah operasi kuasa yang lembut dan bekerja di balik ideal-ideal yang seringkali samar dari tatapan lapar di meja makan yang berjuang mempertahankan kenikmatan semur (jengkol, dkk-dst-dll) dan kasur.
Lantas, apakah yang kurus dan gemuk tak memiliki takdir dalam sejarah? Percayalah selalu pada si Botak Foucault: dimana ada kekuasaan, selalu ada perlawanan. Maka kaum Kurus dan Gemuk, bersatulah! Memasuki 72 tahun usia Proklamasi, jangan biarkan keberagaman tubuh Nusantara menerima takdir sebagai koloni kekinian dari import ideologi tubuh buah persilangan sakit saintisme dan konsumerisme.Â
Dan, jangan cemas turun temurun. Semua jenis tubuh memiliki peluang menulis nasibnya, bahkan menjadi pengecualian yang menang melawan rezim proporsionalitas. Hanya saja, please Bibeeh, jangan bermimpi dalam kerumuman, sebab sejarah hanya menyediakan tempat untuk satu Kate Moss!
Berbedalah, karena itu Indonesia.
***
*) Sebagian besar bahan dasar dari "provokasi" ini telah dimuat diNgawursiana.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI