Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"The Birth of a Nation" dan Narasi Luka Masa Lalu Bangsa

1 Mei 2017   10:56 Diperbarui: 1 Mei 2017   16:34 2804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peristiwa-perisitiwa yang menyertai narasi kelahiran sebuah bangsa tidak melulu bertutur kisah romantik, heroik dan progresif. Dengan kata lain, ia semata ia bentuk dari kenangan yang indah akan kebesaran masa lalu, penuh tindakan berani dan cinta tanah air, serta sedang berada dalam jalur kemajuan yang gilang gemilang. Oleh satu jalinan kompleks peristiwa, bangsa tidak dilahirkan dari perisitiwa sesederhana itu. Bangsa juga dilahirkan oleh rangkaian peristiwa tragis dimana manusia bisa memangsa sesamanya. Ini yang sementara bisa disebut sebagai narasi luka dari masa lalu bangsa.

Masih dalam kerumitan hubungan peristiwa itu, narasi luka dari masa lalu sebuah bangsa tidak juga otomatis dikarenakan "pribumi versus sistem kolonial". Dalam sejarah, narasi luka bisa diproduksi "pribumi versus pribumi" atau "kolonial versus kolonial". Karena itu, terburu-buru mengikuti hiper nasionalisme atau over dosis xenophia yang kini mengambil gelombang pasang berbungkus populisme pada era pascakebenaran, seharusnya diberi tandang kurung fenomenologi dalam maksud Husserl: segala asumsi, motif dan kontruksi pengertiannya disangsikan sementara.

Bagaimanakah melakukan "aksi memberi tanda kurung itu"?

Ada banyak sekali cara. Tapi, kali ini, mari kita simak satu cara yang sedikit bisa menunjukkan jalan ke arah itu. Cara yang menggunakan produk "screen culture" berupa film komersil. Sebuah film yang berangkat dari kisah nyata pemberontakan budak (Slave Rebellion) di negeri Uncle Sam. 

Film Birth of a Nation: Rasialisme, Perbudakan dan Pemberontakan Melawan Penistaan Manusia

Birth of a Nation (BoN) merupakan jenis film biopic, film yang menceritakan hidup tokoh tertentu dalam satu masa sejarah. BoN sendiri menceritakan hidup Nat Turner, seorang budak di Southampton County, Virginia. Pemberontak yang dikenal dengan Nat Turner Rebellion's atau Southampton Insurrection. Dari dua sebutan ini, kita tahu, apa yang dilakukan Nat Turner saat itu adalah aksi melawan dengan kekerasan dan berupa penentangan terbuka terhadap sistem perbudakan. Kisah nyata ini terjadi di tahun 1831.

  Dalam versi film yang disutradarai Nat Parker, Nat Turner kecil melewati masa pertumbuhan yang tak benar-benar suram sebagai anak dari Isaac dan Nancy, suami istri budak yang dimiliki oleh keluarga Turner. Nat kecil adalah teman bermain Samuel, anak lelaki keluarga pemilik budak. 

Pada usia bocah iniah, Nat mengalami dua momen yang sangat berpengaruh dalam membentuk karakternya. Dua momen sebelum hari dimana ia memimpin pemberontakan berdarah.

Pertama, pada suatu hari, Nat tidak sempat menikmati makan siang bersama-sama dengan teman-temannya yang berakit perut bocah itu menahan lapar sepanjang malam. Isaac, sang ayah melihat peristiwa siang itu dan menjadi tak tega. Isaac memilih untuk pergi mencuri beberapa kaleng makanan dan kepergok oleh polisi budak yang bengis dan sedang patroli. Sejak malam itu, Nat kecil sudah tak lagi melihat ayahnya. Ia dibesarkan nenek dan ibunya. 

Kedua, perisitiwa dimana Nyonya Turner melihat Nat sebagai anak yang cerdas dan memiliki potensi menjadi pendeta yang bagus. Nat kemudian dididik membaca dan menulis. Nat berangsur-angsur, seiring pertumbuhan usia dan kesadarannya, mulai menjadi pendeta. Khususnya, pendeta untuk kaumnya sendiri, para budak. 

Sekalipun merupakan jenis manusia yang terdidik, khususnya dalam ilmu keagamaan, sistem perbudakaan tetaplah mendefinisikan dirinya sebagai properti, barang kepemilikan. Sebagai barang kepemilikan, budak tidak merdeka untuk hidupnya sendiri. Ia hanya (bertahan) hidup menurut kehendak tuannya. 

Pada usia remaja, ketika Nat mulai dikenal sebagai pendeta yang bagus, ia jatuh cinta pada seorang budak yang kemudian menjadi istrinya, Cherry. Cherry dibeli oleh tuannya dan dihadiahkan untuk adik perempuannya. Mereka kemudian menjadi keluarga baru. 

Di masa telah menjadi kepala rumah tangga, momen tragis datang lagi menghampiri dan membentuk benih-benih pemberontakan. 

Peristiwa pertama, kekejian--diperkosa dan disiksa-- yang menghantam istrinya. Cherry saat itu sedang mengambil air di sumur yang terletak agak jauh dari rumah induk. Dia ditemukan oleh tiga pengawas budak yang dulu hendak menangkap ayah Nat ketika mencuri beberapa kaleng makanan. Kedua, saat Nat diajak pemilik budak yang lain untuk mengkhotbahkan sikap-sikap patuh dan tabah serta penuh pengabdian kepada sesama budak yang sudah diperlakukan sebagai binatang peliharaan.  Tegas kata, oleh kuasa perbudakan, "agama ditundukan" lewat lidah Nat. 

Nat sendiri pernah juga disiksa tuannya. Dicambuki di depan ibu dan neneknya. Namun ia hadapi semua dengan ketabahan yang senyap.

Sebelum hari pemberontakan terjadi, Nat sudah meyakini dirinya sebagai "pengejawantahan Spirit Suci" dan memiliki visi masa depan. Dengan maksud lain, bisa dikatakan jika Nat telah mendefinisikan kehadirannya sebagai Sang Pembebas. Ia wakil yang akan membawa "cahaya cerah" bagi saudaranya. Ia yang akan menghancurkan rantai-rantai yang membelenggu kemerdekaan manusia dari penjara rasialisme.

Puncak dari kemarahan terhadap penistaan manusia oleh sistem perbudakan itu adalah Nat mulai mengorganisir sesama budak yang sudah di mampu menanggung siksa politik rasialisme yang melanggengkan sistem perbudakan tersebut. Nat memilih menafsir firman Tuhan dengan spirit yang menentang sistem itu. Semacam metode "Black Theology" yang menciptakan "kontradiksi internal".  

Pemberontakan Nat, dkk-nya, di bulan Agustus 1831, itu dimulai dengan membunuh tuan-tuan mereka. Dilaporkan sekitar 55-60 orang terbunuh. Pemberontakan ini tidak bertahan lama, hanya dalam beberapa hari sudah boleh dipadamkan. Nat sendiri hanya mampu bertahan sekitar bulan sebelum dieksekusi hukuman gantung di depan khalayak. Hukuman yang sekaligus sebagai pesan peringatan.

Film dan Pembacaan Luka Sejarah

BoN yang dirilis tahun 2016 adalah film biopic yang menceritakan salah satu episode tragis yang menyertai sejarah pelahiran bangsa Amerika Serikat. Tentu saja, praktik rasialisme melalui mekanisme sistem perbudakan yang melahirkan pemberontakan tidak khas seorang Nat. Dalam sejarah, budak pertama yang memberontak adalah Spartacus. Ia menentang sistem perbudakan di era imperium Romawi. Pun di masa lalu Amerika Serikat sebelum modern, sebelum Nat Turner's Rebellion, ada empat kisah pemberontakan hebat. Yakni Stono Rebellion (1739), The New York City Conspiracy (1741), Gabriel Conspicary (1800), dan German Coast Uprising (1811). Dan tentu saja, BoN bukan pertama atau bahkan satu-satunya yang berani menceritakan sebuah era kelam dimana manusia tidak lebih baik dari binatang peliharaan. 

Namun, kepentingan disini adalah dalam konteks membaca "luka masa lalu" yang menyertai kelahiran sebuah bangsa, kita bisa belajar dari film komersil yang mengambil sudut tutur biopic. Film BoN sendiri, dilihat dari konteks dia diproduksi, jelas ditujukan secara khusus untuk mengingatkan warga Amerika Serikat. Masyarakat kekinian yang tengah digairahi oleh "sentimen sektarian". Termasuk juga, saya kira, warga dunia agar mewaspadai apa yang disebut "new populism". Sebab rasialisme tidak pernah benar-benar mati dan selalu bisa memutasi dirinya di banyak ruang hidup manusia, lembut atau keras. Telanjang atau menyamarkan diri. 

Selain tentang bahaya rasialisme yang lebih banyak dibentuk oleh kehendak kuasa dan konstruksi politis, pembacaan akan luka sejarah dari pelahiran sebuah bangsa adalah bagaimana memahami dialektika "institutionalized religion" dan sistem yang menista kemuliaan manusia. Dialektika yang bisa melahirkan kolaborasi atau bahkan, sebaliknya, resistensi. Ini juga mengingatkan pada pembedaan yang pernah dibuat Zainuddin Maliki, antara Agama Penguasa, yang melayani kekuasaan dan Agama Rakyat yang membela manusia dari jaring exploitation de l‘homme par l‘homme’ dan ‘exploitation de nation par nation. Praktik eksploitasi yang sebenarnya sedang menampilkan diri sebagai "tuhan-tuhan" baru. 

Inilah dua pembacaan luka sejarah yang rasanya bisa dipetik dari Birth of a Nation. Sebuah jenis film biopic yang menunjukan bahwa narasai BANGSA tidak berjalan tanpa peristiwa-peristiwa kelam, trauma, dan ketakutan untuk mengakui dengan jujur. Film yang mungkin tidak akan pernah dilahirkan atau kurang menarik secara bisnis bagi sineas Indonesia. Sementara film sejenis ini, yang digali dari masa lalu sendiri, rasanya makin dibutuhkan generasi digital untuk "memberi tanda kurung" kepada segala narasi megah gilang gemilang bangsa yang tumbuh dalam kegairahan hiper-nasionalisme. 

Semoga. Selamat Hari Buruh.

***

Buku Bacaan  Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar di Indonesia. (KPG, 2015)

Daftar Rujukan 1 2  dan 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun