Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Grup WhatsApp dan "Pascakebenaran"

7 April 2017   11:50 Diperbarui: 8 April 2017   00:00 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah ada satu zaman, jauh sebelum telepon genggam merevolusi dirinya hingga lahir generasi smartphone, tiga orang sahabat duduk dalam ruang kecil tanpa bercakap-cakap. Hanya ada keheningan dan suasana ruangan yang "bukan ruang privat". Di samping ketiganya, berserak beberapa bungkus kartu seluler. Di jemari mereka yang kekar sebab keseringan bergelantungan di papan panjat, telpon genggam kecil terpegang dengan kukuh. Mata mereka terbenam total ke layarnya. 

Di depan ketiga, ada sebotal berisi air bening dengan aroma alkohol yang tajam. Sebuah gelas kecil, yang menjadi "sloki" berdiri di sampingnya. 

Tiba-tiba, salah satunya kemudian melepas telepon. Menuang cairan dari botol  ke sloki, menenggaknya. "Haaah," hanya ucap itu yang keluar. Wajahnya mendadak seperti berlipat, ibarat pakaian selesai dijemur tanpa pernah berharap akan dilicinkan setrika. Tak lama kemudian, salah satu yang lain, melakukan aksi yang sama. Ucap yang terdengar dari mulutynya juga sama, "Haaah". Lantas, orang ketiga pun melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya hingga bau alkohol itu pindah seutuhnya ke mulut mereka. Tak ada percakapan. Keheningan masih bertahta.

Pagi harinya, beredar cerita. Ada tiga orang sekawan yang minum alkohol jenis kelas berat tanpa percakapan. Ini jelas peristiwa yang jarang. Alkohol adalah jalan menuju mabuk, mabuk adalah pintu menuju kehilangan kontrol. Kehilangan kontrol pertanda keheningan akan segara saja musnah. Tapi mereka bertiga membuatnya tidak terjadi. Apakah mereka tergolong kuat? Tidak, bukan itu. 

Di malam itu, mereka saling bercakap lewat layanan pesan pendek alias short message service. 

Sekarang giliranmu--kata yang satu. Lah, perasaan aku baru saja!--jawab temannya. Giliranku ya sekarang?--tanya yang ketiga, sms dikirim kedua temannya, seolah tahu apa yang sedang di-sms-kan. Dua yang menerima sms serentak menatap. Lalu membalas, kalau minum, jangan makan tulang begitu. Bangke! Inilah pangkal dipangkal dari kenapa ketiganya tak juga mabuk dan merusak keheningan sedang yang disikatnya adalah "Cap Tikus level mudah terbakar". Kau tahu Cap Tikus seperti itu? Kalau tidak, jangan sok merasa memahami wine!

Tiga sekawan itu "gagal mabuk" sebab mereka tidak benar-benar sedang bergumul alkohol. Ini menurut saya: mereka sedang menguji konsentrasinya, daya tahan syaraf-syarafnya. Semacam permainan pikiranlah. Akan tetapi kesimpulan ini hanya bertahan beberapa saat, sebab pada sore harinya, beberapa Satuan Pengaman datang dan mencari tahu siapa yang memecahkan kaca di ruangan tersebut. Pelakunya sampai tulisan ini dibuat, masih dalam DPO. DPO yang abadi! Mereka sudah mengusir dirinya sendiri dari kehidupan kampus.

Zaman berubah, teknologi komunikasi berkembang cepat. Sistem SMS menjadi kenangan, hanya hidup di beberapa generasi yang mulai sepuh--dengan catatan masih sudi mengetik dan membaca dengan jelas. Sekarang, smartphone merajalela, grup percakapan tumbuh seperti jamur di musim basah. Tidak penting jamur itu beracun atau tidak, ia tumbuh! Dan basaah.

Cerita saya di hari Jumat sebelum salat tentang grup percakapan ini. Grup WA atau WhatsApp. 

Sejak pakai smartphone jenis ASUS--dan berharap tidak menggantinya kecuali karena menang lomba di Kompasiana--saya bergabung dengan grup. Ada beberapa tetapi yang bertahan hanya tiga. Dua grup pertama adalah berisikan manusia-manusia yang sepekerjaan. Satu yang terakhir adalah grup keluarga. Dua yang pertama, kau tahulah, hanya akan ramai bila ada hal-hal yang mendukung kelancaran kerja yang harus disiapkan dengan baik. Sesekali ada info yang berkaitan dengan pekerjaan. Grup yang relatif sepi. 

Grup WA keluarga pun sama. Tidak banyak kesibukan. Sebulan bahkan bisa sepi. Ngapain juga? Wong lebih baik telpon-telponan.

Sebelum tiga grup itu bertahan, tentu saja ada mekanisme seleksi internal. Maksudnya ada tiga grup lagi yang memasukkan saya. Hanya bertahan dua bulan, saya memilih keluar dari grup. Apa sebab? Saya merasa buang-buang waktu, wasting time-aja. Lebih tragis lagi, satu grupnya saya yang admin-i lantas saya suruh anggota: grup ini sudah tidak jelas. Saya akan keluar, terserah yang lain. Benar-benar tidak bertanggung jawab, persis remaja yang menggugurkan janinnya!

Sejak itu, saya bertahan dengan tiga grup bersama perasaan yang biasa-biasa saja. Yang penting grup itu "fungsional" walau dalam kadar seminim-minimnya. 

Hingga kemudian, seiring perjalanan sejarah tips-tips bergrup WA secara positif mulai diabaikan orang-orang, saya diceburkan ke dalam grup WA yang.............(kau simpulkan saja di bagian akhir).

Grup ini tidak tinggal di satu lingkungan yang sama, jadi bukan grup RT. Juga bukan bekerja di lingkungan yang sama, jadi jelas bukan grup para profesional. Tidak juga karena sedang memperjuangkan idelogi tertentu, karena itu bukan grup "Penemu Jalan Pencerahan". Mereka bukan datang dari masa lalu sekolah yang sama, maka bukan grup "Nostalgia Remaja". Mereka juga bukan datang dari afiliasi politik yang seragam, jadi bukan grup "Mendukung A, Menolak B".

Grup ini tanpa identitas yang tunggal, selain--tentulah--isinya manusia, bukan mesin penjawab otomatis. Bagaimana dengan umur? Tidakkah mereka datang dari zaman yang sama?

Tidak. Mereka datang dari latar belakang zaman yang bercampur sedemikian rupa hingga tiba-tiba ada yang terbaca tua sekali dan ada yang terbaca "tua tanpa pernah muda" (Hmmm). Karena hobby, mungkin? Hobby adalah kategori yang sangat sumir. Satu-satunya hobby mereka adalah bercakap apa saja sepanjang bisa dilakukan dan ketika esok bari menjelang, mereka semua lupa, tadi malam bahas apa ya? 

Apakah mereka para penganggur yang bergabung demi melupakan sakitnya ditolak dunia kerja?

Wooh, pertanyaanmu benar-benar tak sadar diri, "sikap pandang enteng yang tolol". Mereka tersimpul dari yang sudah purna kerja, sedang bekerja, seolah-olah bekerja--saya maksudnya! dan baru menginjak pintu terakhir sebelum masuk dunia kerja. Pekerjaan mereka pun berupa-rupa jenis. Saking banyaknya sampai lupa membedakan mana kerja, mana kerjaan, mana kerja yang terlihat seperti kerja. Maksud saya, kerja bukan segala-galanya. Ada komunikasi yang membentuk hubungan manusia, kata Habermas.

Lantas, ini grup apa sebenarnya? 

Grup yang anti identitas. Grup yang tidak menghimpun satu spesis dengan perbincangan yang membawa seriusnya dunia offline. Grup yang bahkan tak jelas "kategori moralnya" apa.

Mungkin mereka sejenis "multitude" dalam teori new social movement, spontanitas yang bergerak merespon kondisi-kondisi tertentu. Spontanitas yang cair lagi dinamis. Kadang-kadang mereka serupa asbak, segala puntung masuk di tubuhnya. Namun mendadak, berubah menjadi "pisau yang dicabut dari cengkeraman luka", menyobek daging-daging kepalsuan atau jenis tata krama yang menyamarkan kemunafikan. Rasa-rasanya begitu. So, jangan tanya tema percakapan apa yang menjadi fokus utama mereka. 

Ini grup mengada di era paska kebenaran, kurangi kaku-kaku beku, entar patah tulang lho! Kurangi serius selalu, stroke Coi! 

Eh, bentar, ada New Social Movement? Serius? 

Halah, serius gak serius urusanmu. Dan ini yang paling penting di  grup itu, saya belum pernah ketemu anggotanya. Seperti di pilem Vendetta saja. Ngerii.

Yang ganteng, Jumatan doloooo. 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun