Pernah ada satu zaman, jauh sebelum telepon genggam merevolusi dirinya hingga lahir generasi smartphone, tiga orang sahabat duduk dalam ruang kecil tanpa bercakap-cakap. Hanya ada keheningan dan suasana ruangan yang "bukan ruang privat". Di samping ketiganya, berserak beberapa bungkus kartu seluler. Di jemari mereka yang kekar sebab keseringan bergelantungan di papan panjat, telpon genggam kecil terpegang dengan kukuh. Mata mereka terbenam total ke layarnya.Â
Di depan ketiga, ada sebotal berisi air bening dengan aroma alkohol yang tajam. Sebuah gelas kecil, yang menjadi "sloki" berdiri di sampingnya.Â
Tiba-tiba, salah satunya kemudian melepas telepon. Menuang cairan dari botol  ke sloki, menenggaknya. "Haaah," hanya ucap itu yang keluar. Wajahnya mendadak seperti berlipat, ibarat pakaian selesai dijemur tanpa pernah berharap akan dilicinkan setrika. Tak lama kemudian, salah satu yang lain, melakukan aksi yang sama. Ucap yang terdengar dari mulutynya juga sama, "Haaah". Lantas, orang ketiga pun melakukan hal yang sama. Begitu seterusnya hingga bau alkohol itu pindah seutuhnya ke mulut mereka. Tak ada percakapan. Keheningan masih bertahta.
Pagi harinya, beredar cerita. Ada tiga orang sekawan yang minum alkohol jenis kelas berat tanpa percakapan. Ini jelas peristiwa yang jarang. Alkohol adalah jalan menuju mabuk, mabuk adalah pintu menuju kehilangan kontrol. Kehilangan kontrol pertanda keheningan akan segara saja musnah. Tapi mereka bertiga membuatnya tidak terjadi. Apakah mereka tergolong kuat? Tidak, bukan itu.Â
Di malam itu, mereka saling bercakap lewat layanan pesan pendek alias short message service.Â
Sekarang giliranmu--kata yang satu. Lah, perasaan aku baru saja!--jawab temannya. Giliranku ya sekarang?--tanya yang ketiga, sms dikirim kedua temannya, seolah tahu apa yang sedang di-sms-kan. Dua yang menerima sms serentak menatap. Lalu membalas, kalau minum, jangan makan tulang begitu. Bangke! Inilah pangkal dipangkal dari kenapa ketiganya tak juga mabuk dan merusak keheningan sedang yang disikatnya adalah "Cap Tikus level mudah terbakar". Kau tahu Cap Tikus seperti itu? Kalau tidak, jangan sok merasa memahami wine!
Tiga sekawan itu "gagal mabuk" sebab mereka tidak benar-benar sedang bergumul alkohol. Ini menurut saya: mereka sedang menguji konsentrasinya, daya tahan syaraf-syarafnya. Semacam permainan pikiranlah. Akan tetapi kesimpulan ini hanya bertahan beberapa saat, sebab pada sore harinya, beberapa Satuan Pengaman datang dan mencari tahu siapa yang memecahkan kaca di ruangan tersebut. Pelakunya sampai tulisan ini dibuat, masih dalam DPO. DPO yang abadi! Mereka sudah mengusir dirinya sendiri dari kehidupan kampus.
Zaman berubah, teknologi komunikasi berkembang cepat. Sistem SMS menjadi kenangan, hanya hidup di beberapa generasi yang mulai sepuh--dengan catatan masih sudi mengetik dan membaca dengan jelas. Sekarang, smartphone merajalela, grup percakapan tumbuh seperti jamur di musim basah. Tidak penting jamur itu beracun atau tidak, ia tumbuh! Dan basaah.
Cerita saya di hari Jumat sebelum salat tentang grup percakapan ini. Grup WA atau WhatsApp.Â
Sejak pakai smartphone jenis ASUS--dan berharap tidak menggantinya kecuali karena menang lomba di Kompasiana--saya bergabung dengan grup. Ada beberapa tetapi yang bertahan hanya tiga. Dua grup pertama adalah berisikan manusia-manusia yang sepekerjaan. Satu yang terakhir adalah grup keluarga. Dua yang pertama, kau tahulah, hanya akan ramai bila ada hal-hal yang mendukung kelancaran kerja yang harus disiapkan dengan baik. Sesekali ada info yang berkaitan dengan pekerjaan. Grup yang relatif sepi.Â
Grup WA keluarga pun sama. Tidak banyak kesibukan. Sebulan bahkan bisa sepi. Ngapain juga? Wong lebih baik telpon-telponan.