Konsep yang menyebut dunia telah remuk batas-batasa lamiah dan kulturalnya (borderless) memiliki konsekuensi-konsekuensi eksistensial dan sosial yang serius.
Dunia seperti ini adalah sebentuk ruang hidup dengan energi percampuran yang tak terhingga. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai dunia yang dilipat, sarat dengan pemujaan kecepatan, kedangkalan, runtuhnya kategori moral yang binaritas (Yasraf Piliang), dunia yang telah tanpa nabi-nabi alias pusat moral yang memimpin dan menjaga tegaknya makna-makna tertentu (Walter Benjamin) atau dunia dengan ekspor kehampaan yang mengglobal (George Ritzer).
Dampak eksistensial dari dinamika ruang hidup sepertiini adalah diperhadapkannya individu kepada "kecemasan akan kebebasan". Kecemasan yang memaksanya berhadapan dengan menjadi pribadiotentik atau merelakan diri sebagai komponen dalam kerumunan yang ekslusif.
Disisi lain, situasi “kecemasan akan kebebasan” adalah sejenis tantangan untuk terus melakukan pencaharian maknawi dibalik kedangkalan dan kehampaan era digital. Dimana individu ditantang untuk terus menerus mengalami proses benturan dan menghindarkan diri jatuh ke dalam sikap yang anti terhadap kehidupan'; sikap yang "mengideologikan kematian".
Tantangan yang juga mengajak individu untuk melihat dengan lebih kritis keterbatasan diri dan kelompoknya—atau, betapa berbahayanya klaim-klaim ekslusivisme—dan terus bersikap terbuka dalam perjumpaan dengan liyan (the other).
Dalam kondisi kehidupan seperti di atas, saya membuat catatan tentang film nasional secara acak. Catatan ini tidak membahas satu film secara khusus. Catatan ini lebih sebagai “kegalauan subyektif” terhadap produk industri tontonan kekinian yang biasa-biasa saja. Tentu saja, dalam kasus produksi film atau sinetron, tidak semua produknya buruk atau karena “elitisme selera subyektif”, saya mengajukan standar tertentu yang kaku.
Tidak, tidak. Tidak secanggih dan seambisius itu. Ini sekedar ungkap harapan semata. Harapan dari penikmat film yang pernah terpakau oleh film Siti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat di zaman TVRI masih sendiri dan tak tertandingi.
Film Sebagai Produk Pengetahuan
Percakapan tentang film nasional, dalam era “ekspor kehampaan”, sejujurnya tidak semata-mata perkara industri kreatif, dimana dorongan utama adalah perburuan keuntungan ekonomi. Dorongan ekonomi yang membuat pegiat industri perfilman hanya sibuk dengan pertimbangan pasar. Pertimbangan yang membuat mereka memproduksi film dengan cerita yang memuakan bersama akting pemeran yang melulu itu-itu sosoknya.
Atau, oleh kebutuhan berburu untung, yang diproduksi adalah jenis film dengan citarasa cinta-cintaan remaja yang basi, konflik asmara yang klise: hubungan yang dilarang dimana ujungnya orang-orang baik selalu menemui jalan kebahagiaannya. Termasuk di dalamnya, film dengan selera buruk tentang horror yang mengambil ide dari legenda-legenda yang memelihara penonton terbenam dalam ilusi. Oleh pasar, ide memuakkan seperti ini ternyata tidak cukup diternak oleh sinetron.
Ide memuakan ini bukan nanti berkembang ketika rezim sensorik Orde Baru kolaps dan monopoli tafsir selera terlepas dari kerangkengnya. Ide sedemikian jelas memiliki masa lalu konteksnya yang di masa ia diproduksi, mungkin sebuah karya sinematik yang wow. Ambil kasus sederhana saja.
Film Mekar Diguncang Prahara dibintangi Ida Iasha, Dedy Mizwar, Nani Wijaya dan Ray Sahetappy. Saya kutipkan saja sinopsisnya dari situs :
Daniel (Ray Sahetapy), anak mami yang rusak karena terlampaudimanja, bahkan sampai dia beristri dan punya anak dua. Kerjanya hanya berjudidan main perempuan. Istrinya, Dinar (Ida Iasha), pelayan toko diharapkan bisamendewasakan Daniel. Ia gagal, lebih-lebih karena intervensi mertuanya (NaniWidjaja). Akhirnya Dinar memutuskan pindah rumah bersama dua anaknya danbekerja. Daniel tetap tinggal bersama ibunya.
Di tempat kerja, Dinar mendapat perhatian khususatasannya, Yudhawan (Deddy Mizwar), duda yang tidak punya anak karena dirinyamandul. Di tempat kerja ini pula intrik terjadi, lebih-lebih dari Monik (PutriSoraya) yang ingin mendapat perhatian dari Yudha. Monik akhirnya berhasilmenjadi istri Daniel, setelah yang terakhir ini bercerai dan mendapat hak asuhdua anaknya. Monik yang punya motivasi sendiri, tentu tidak sabar menghadapiDaniel. Dalam sebuah pertengkaran Monik mati teraniaya. Maka Daniel masukpenjara dan Dinar bisa kembali berkumpul dengan anaknya.
Dinar kemudian hidupbahagia bersama Yudhawan.
Mekar Diguncang Praha mengadopsi novel berjudul sama dan diproduksi tahun 1987. Film ini berlatar belakang keluarga kaya perkotaan dan pekerja kantoran. Film dengan pesan salah asuhan ibu yang tidak berani memberi “ruang independen” bagi anaknya agar dapat menjadi dirinya sendiri. Pesan yang kalau digali lebih dalam, ingin mengatakan jikalau ide otonomi individu masih merupakan “tabu” dalam masyarakat yang memuja kolektivisme salah sasaran.
Lihat saja. Ide cerita seperti Mekar Diguncang Praha masih ramai diduplikasi dalam film-film kekinian yang bahkan lebih parah dalam pertunjukan kekerasan simbolik.
Sebaliknya, berseberangan dengan mindsett mencari untung dengan mengeksploitasi sensasi dari rasa galau dan sendu-senduan, film adalah bagian dari produksi pengetahuan. Sebagai produk pengetahuan, ia menceritakan kehidupan dunia manusia yang kompleks dan mengajukan dialog nilai-nilai yang dibutuhkan penonton dalam “mengelola kecemasannya secara kreatif”.
Film seperti ini bukan saja menggugah emosi. Iamemiliki daya yang memaksa penontonnya berpikir, meluaskan cakrawala pandang,dan berani menghadapi problem eksistensial sehari-hari. Ia tidak selalu bicara akhir bahagia atau penderitaan panjang bagi orang-orang jahat terkutuk. Tidak melulu hero-hero sempurna, yang tidak pernah ada dalam kenyataan, sebagai penyelamat kehidupan, penyelamat hidup para penakut yang terus bingung mendefinisikan siapakah saya? Oh, sungguh celaka.
Berseberangan, film sebagai produksi pengetahuan justru berani tampil dalam komedi getir atau penuturan pengalaman kelam manusia yang menabrak kategori hitam-putih di kepala. Beberapa bahkan masuk ke tema-tema skandal kekuasaan yang sensitif dengan menunjukkan bahaya kekuasaan yang terus menampilkan diri sebagai otoritas moral paling benar dan paling berhak mengeksekusi; negara yang menyamarkan watak monsternya.
Film sebagai produksi pengetahuan, dalam wujud tema sejarah, juga membawa cara pandang penonton melihat masa lalu masyarakat manusia yang lebih dulu ada sebelum sejarahnya dimulai. Melihat masa lalu yang kelam--seperti dalam the Act of Killing--yang oleh intervensi rezim politik totaliter-paranoid, ditutup-dihilangkan dari memori kolektif kekinian dan memaksanya hidup dalam ketakutan terhadap hantu sejarah.
Artinya, apakah setiap film harus memberi efek “guncangan filosofis”? Menurut saya, iya. Filosofis bukan dalam pengertian akademikdimana hanya kaum terpelajar-lah yang paling berhak menikmati dan memilikiotoritas berkomentar. Filosofis jenis ini sama dengan mendukung ilusi adanya kebudayaan tinggi.
Saya berikan contoh film yang memproduksi pengetahuan.
Dalam film Indonesia yang mengadopsi kisah perang zaman kerajaan, khususnya silat-silatan dan intrik kekuasaan, saya belum menikmati jenis yang mampumenyandingkan dirinya dengan kualitas sinematik dari sineas Tiongkok.
Misalnya saja film Red Cliff (2008-09), yang disutradarai John Woo. Film yang “menulis ulang” kisah Battle of Red Cliffs (AD 208–209) di zaman Dinasti Han. Di film ini, John Woo mengelaborasi filosofi, startegi dan taktik perang yang berkelindan denganambisi berkuasa serta romantika dalam bingkai kultural yang kental. Bukan sekadar silat dengan teknik visual yang hebat.
Atau, film yang berkisah perlindungan orang-orang biasa terhadap pertemuan konsolidasi politik Sun Yat Sen yang sedang keliling untuk melahirkan negara modern dan harus menghadapi kebengisan sistemdinasti. Film yang disutradarai Teddy Chan ini memiliki “efek subjektivasi”atau memiliki efek “provokasi pikiran”, dimana ia membuat kehadiran orang-orangbiasa, bahkan tergolong “bangsat”, namun memiliki heroisme tindakan yang tidak boleh disepelekan dari keberadaan sosok besar tertentu. Film yang berjudul Bodyguards and Assassins (2009).
Negeri ini punya banyak kisah seperti itu, banyak sekali. Misalnya saja, mengapa belum ada sineas yangmelakukan riset serius terhadap kisah perlawanan Sultan Nuku di Maluku Utara?
Nuku adalah pemimpin perlawanan maritimyang pengaruhnya luas, pemimpin yang mampu mengorganisiri aliansi lintaskultural, khususnya dengan Raja Ampat dan Seram, dalam melawan kuasa kolonialisme. Sejarah perlawanannya bahkan disebut lebih visioner dibanding perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa oleh sejarahwan Lippi, (alm) Muridjan,dalam disertasinya.
Tidakkah tema sejarah seperti ini dibutuhkan untuk menafsir ulang Indonesia yang selama ini dikritik karena “Java-minded”?
Tema sejarah--tentu tanpa overdosis glorifikasi--yang diperlukan untuk membagikan pengetahuan bahwa dalam masa lalu Nusantara, di wilayah Timur juga tumbuh perlawanan yang harus diberi ruang diskursusdalam membentuk kesadaran nasional abad digital.
Pada subyektifitas saya, tema seperti perlawanan Sultan Nuku dari Tidore itu adalah salah satu narasi yang membantu mengendalikan kecemasan akan (ilusi) inferiotas yang khas dunia ketiga—sebagai dampak kolonialisme dan tentu juga karena watak pembangunanisme orde baru—sembari saat bersamaan menderita ketercerabutan narasi masa lalu.
Dengan kata lain, penggarapan film tentang sejarah gemilang juga diarahkan untuk membangun kapasitas soft power Indonesia. Kapasitas yang sudah sejak lama disadari Amerika lewat hegemoni Hollywood, kini RepublikTiongkok, dan terakhir, Korea Selatan lewat ekspor drama Koreanya. Lewat industri film, mereka hendak terlibat memberi pengaruh terhadap cara pandang dunia. Bukan sekedar jualan.
Sekali lagi, ini bukan catatan terhadap salah satu film Indonesia secara khusus. Ini sebuah harap terhadap film Indonesia di era ekspor kehampaan. Atau paling pantas, catatan ini barulah angan-angan.
Selamat hari film nasional!
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI