Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Film Indonesia di Era Ekspor Kehampaan, Sedikit Harap

1 April 2017   13:17 Diperbarui: 2 April 2017   00:00 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.21cineplex.com

Saya berikan contoh film yang memproduksi pengetahuan.

Dalam film Indonesia yang mengadopsi kisah perang zaman kerajaan, khususnya silat-silatan dan intrik kekuasaan, saya belum menikmati jenis yang mampumenyandingkan dirinya dengan kualitas sinematik dari sineas Tiongkok. 

Misalnya saja film Red Cliff (2008-09), yang disutradarai John Woo. Film yang “menulis ulang” kisah  Battle of Red Cliffs (AD 208–209) di zaman Dinasti Han. Di film ini, John Woo mengelaborasi filosofi, startegi dan taktik perang yang berkelindan denganambisi berkuasa serta romantika dalam bingkai kultural yang kental. Bukan sekadar silat dengan teknik visual yang hebat.

Atau, film yang berkisah perlindungan orang-orang biasa terhadap pertemuan konsolidasi politik Sun Yat Sen yang sedang keliling untuk melahirkan negara modern dan harus menghadapi kebengisan sistemdinasti. Film yang disutradarai Teddy Chan ini memiliki “efek subjektivasi”atau memiliki efek “provokasi pikiran”, dimana ia membuat kehadiran orang-orangbiasa, bahkan tergolong “bangsat”, namun memiliki heroisme tindakan yang tidak boleh disepelekan dari keberadaan sosok besar tertentu. Film yang berjudul Bodyguards and Assassins (2009).

Negeri ini punya banyak kisah seperti itu, banyak sekali. Misalnya saja, mengapa belum ada sineas yangmelakukan riset serius terhadap kisah perlawanan Sultan Nuku di Maluku Utara? 

Nuku adalah pemimpin perlawanan maritimyang pengaruhnya luas, pemimpin yang mampu mengorganisiri aliansi lintaskultural, khususnya dengan Raja Ampat dan Seram, dalam melawan kuasa kolonialisme. Sejarah perlawanannya bahkan disebut lebih visioner dibanding perlawanan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa oleh sejarahwan Lippi, (alm) Muridjan,dalam disertasinya. 

Tidakkah tema sejarah seperti ini dibutuhkan untuk menafsir ulang Indonesia yang selama ini dikritik karena “Java-minded”?

Tema sejarah--tentu tanpa overdosis glorifikasi--yang diperlukan untuk membagikan pengetahuan bahwa dalam masa lalu Nusantara, di wilayah Timur juga tumbuh perlawanan yang harus diberi ruang diskursusdalam membentuk kesadaran nasional abad digital.

Pada subyektifitas saya, tema seperti perlawanan Sultan Nuku dari Tidore itu adalah salah satu narasi yang membantu mengendalikan kecemasan akan (ilusi) inferiotas yang khas dunia ketiga—sebagai dampak kolonialisme dan tentu juga karena  watak pembangunanisme orde baru—sembari saat bersamaan menderita ketercerabutan narasi masa lalu. 

Dengan kata lain, penggarapan film tentang sejarah gemilang juga diarahkan untuk membangun kapasitas soft power Indonesia. Kapasitas yang sudah sejak lama disadari Amerika lewat hegemoni Hollywood, kini RepublikTiongkok, dan terakhir, Korea Selatan lewat ekspor drama Koreanya. Lewat industri film, mereka hendak terlibat memberi pengaruh terhadap cara pandang dunia. Bukan sekedar jualan. 

Sekali lagi, ini bukan catatan terhadap salah satu film Indonesia secara khusus. Ini sebuah harap terhadap film Indonesia di era ekspor kehampaan. Atau paling pantas, catatan ini barulah angan-angan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun