Film Mekar Diguncang Prahara dibintangi Ida Iasha, Dedy Mizwar, Nani Wijaya dan Ray Sahetappy. Saya kutipkan saja sinopsisnya dari situs :
Daniel (Ray Sahetapy), anak mami yang rusak karena terlampaudimanja, bahkan sampai dia beristri dan punya anak dua. Kerjanya hanya berjudidan main perempuan. Istrinya, Dinar (Ida Iasha), pelayan toko diharapkan bisamendewasakan Daniel. Ia gagal, lebih-lebih karena intervensi mertuanya (NaniWidjaja). Akhirnya Dinar memutuskan pindah rumah bersama dua anaknya danbekerja. Daniel tetap tinggal bersama ibunya.
Di tempat kerja, Dinar mendapat perhatian khususatasannya, Yudhawan (Deddy Mizwar), duda yang tidak punya anak karena dirinyamandul. Di tempat kerja ini pula intrik terjadi, lebih-lebih dari Monik (PutriSoraya) yang ingin mendapat perhatian dari Yudha. Monik akhirnya berhasilmenjadi istri Daniel, setelah yang terakhir ini bercerai dan mendapat hak asuhdua anaknya. Monik yang punya motivasi sendiri, tentu tidak sabar menghadapiDaniel. Dalam sebuah pertengkaran Monik mati teraniaya. Maka Daniel masukpenjara dan Dinar bisa kembali berkumpul dengan anaknya.
Dinar kemudian hidupbahagia bersama Yudhawan.
Mekar Diguncang Praha mengadopsi novel berjudul sama dan diproduksi tahun 1987. Film ini berlatar belakang keluarga kaya perkotaan dan pekerja kantoran. Film dengan pesan salah asuhan ibu yang tidak berani memberi “ruang independen” bagi anaknya agar dapat menjadi dirinya sendiri. Pesan yang kalau digali lebih dalam, ingin mengatakan jikalau ide otonomi individu masih merupakan “tabu” dalam masyarakat yang memuja kolektivisme salah sasaran.
Lihat saja. Ide cerita seperti Mekar Diguncang Praha masih ramai diduplikasi dalam film-film kekinian yang bahkan lebih parah dalam pertunjukan kekerasan simbolik.
Sebaliknya, berseberangan dengan mindsett mencari untung dengan mengeksploitasi sensasi dari rasa galau dan sendu-senduan, film adalah bagian dari produksi pengetahuan. Sebagai produk pengetahuan, ia menceritakan kehidupan dunia manusia yang kompleks dan mengajukan dialog nilai-nilai yang dibutuhkan penonton dalam “mengelola kecemasannya secara kreatif”.
Film seperti ini bukan saja menggugah emosi. Iamemiliki daya yang memaksa penontonnya berpikir, meluaskan cakrawala pandang,dan berani menghadapi problem eksistensial sehari-hari. Ia tidak selalu bicara akhir bahagia atau penderitaan panjang bagi orang-orang jahat terkutuk. Tidak melulu hero-hero sempurna, yang tidak pernah ada dalam kenyataan, sebagai penyelamat kehidupan, penyelamat hidup para penakut yang terus bingung mendefinisikan siapakah saya? Oh, sungguh celaka.
Berseberangan, film sebagai produksi pengetahuan justru berani tampil dalam komedi getir atau penuturan pengalaman kelam manusia yang menabrak kategori hitam-putih di kepala. Beberapa bahkan masuk ke tema-tema skandal kekuasaan yang sensitif dengan menunjukkan bahaya kekuasaan yang terus menampilkan diri sebagai otoritas moral paling benar dan paling berhak mengeksekusi; negara yang menyamarkan watak monsternya.
Film sebagai produksi pengetahuan, dalam wujud tema sejarah, juga membawa cara pandang penonton melihat masa lalu masyarakat manusia yang lebih dulu ada sebelum sejarahnya dimulai. Melihat masa lalu yang kelam--seperti dalam the Act of Killing--yang oleh intervensi rezim politik totaliter-paranoid, ditutup-dihilangkan dari memori kolektif kekinian dan memaksanya hidup dalam ketakutan terhadap hantu sejarah.
Artinya, apakah setiap film harus memberi efek “guncangan filosofis”? Menurut saya, iya. Filosofis bukan dalam pengertian akademikdimana hanya kaum terpelajar-lah yang paling berhak menikmati dan memilikiotoritas berkomentar. Filosofis jenis ini sama dengan mendukung ilusi adanya kebudayaan tinggi.