Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Kunti dan Rindang

24 Maret 2017   23:10 Diperbarui: 24 Maret 2017   23:21 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Shutterstock

[untuk O]

Rindang tinggal di perempatan besar dengan hiruk pikuk yang sama sepanjang hari. Perempatan itu memang menyambungkan perumahan-perumahan pekerja kantoran juga deretan rumah kos dengan pusat jasa dan bisnis di kota yang sedang bersolek.

Di perempatan banyak berdiri rumah makan yang menjual bermacam rumah kuliner, panti pijat dengan jualan teknik macam-macam, hingga mall yang merangkum semua di dalam tubuhnya. Tentu saja, ada pula pedagang kaki lima, seperti penjaja manisan, penjual jamu gendong dan rujak hingga makanan rebusan dari kebun-kebun yang jauh.

Pada mulanya, kala melewati masa kecil di tempat seperti itu, baginya lebih sebagai pertarungan melawan kesepian dan rasa asing. Perasaan sepi dan terasing yang berangsur terkurangi ketika Rindang memasuki masa remaja. Sebab ia memiliki sahabat, Kunti namanya.

Kunti bukan sahabat biasa. Ia sahabat yang aktif dan pintar. Ia selalu datang dan membagikan bercerita. Kunti selalu punya cerita. Ia memang gemar berkeliling dan mengamati.

“Rin, kau tahu, ke arah utara dari perempatan ini, ada pebukitan yang indah. Tubuhnya masih hijau dan sepi dari polusi. Banyak muda-mudi yang sedang jatuh hati pergi dan berkemah disana ketika musim liburan tiba. Tapi kurasa, usianya tak akan lama.”

Cerita Kunti suatu ketika. Kunti sedang sibuk mengamati kota, rupanya. Batin Rindang.

“Rin, di sebelah selatan, pemerintah akan membuat mall yang baru. Mall yang besar sekali. Aneh, padahal mall yang di perempatan ini tak pernah benar-benar sesak pengunjung. Barang-barangnya pun tak pernah habis terjual. Untuk apa ya? Saya sering tidak mengerti pikiran penguasa. Dan mengapa orang-orang menyerahkan nasib pada mereka.”

Kunti kini bercerita seperti itu sesudah pulang dari kunjungannya ke selatan. “Lebih aneh lagi, di dekat mall itu, akan dibangun tangsi militer yang besar dan lengkap. Aku membayangkan mall dan tangsi seperti raja zalim yang setia menjaga permaisurinya yang genit. Hanya orang-orang tertentu yang boleh mendatangi mereka dengan upeti yang besar. Kau tahu maksudku kan?”

Mendengar cerita Kunti, Rindang kagum dan iri. Muncul keinginan bisa seperti Kunti, mudah berpindah kemana saja, menjadi saksi dari kota yang berubah. Tapi takdir hidupnya tidak seperti itu. Rindang ditakdirkan hanya hidup di dekat perempatan yang penuh hiruk pikuk.

Suntuk dengan kenyataan takdirnya, Rindang lantas terbenam dalam kemurungan yang telanjang. Rindang merasa ia diciptakan dalam benturan antara kehendak dan tubuh yang salah. Ia ingin bisa sebebas Kunti, tapi tubuhnya justru menjadi rantai penghambat.

Kemurungan itu membuat wajahnya terlihat lesu. Sinar matanya layu. Ia kembali terkenang pada masa kecilnya yang kesepian sebelum Kunti datang. Perubahan ini tak luput dari mata tajam Kunti yang terlatih mengamati.

“Sahabatku, sudahi murung di wajahmu. Berbagilah denganku. Apa masalahmu?”

“Apakah kau tidak pernah berpikir, betapa tidak bergunanya hidup tertanam seperti ini? Bertahun-tahun diam di tempat yang sama, menyaksi pemandangan yang itu-itu saja. Bagaimana kau bertahan melewati kebosanan, Kunti?”

“Rindang, kenapa bisa kau bersaksi seperti itu? Tidakkah kau mengeluhkan sesuatu yang tak sepenuhnya kau pahami?”

“Apa maksudmu? Kau tahu apa dengan hidup yang menghabiskan hari dari satu hiruk pikuk ke hiruk pikuk yang sama di esok hari, berminggu-minggu, berbulan, dan bertahun-tahun? Kau tak pernah mengerti, kau bukan aku!” Rindang kesal dengan pertanyaan balik malah memberi luka pada kebosanannya.

“Hmmm. Kau cemburu dengan hidupku yang luwes kemana saja?” Kunti kini terdengar meledek. Rindang dibuatnya makin kesal. “Kau tahu,” kata Kunti lagi,”Kau mengabaikan satu anugerah yang penting. Kau ingat, anugrah yang penting.”

“Bila kau sensitif terhadap dunia manusia, kau jauh lebih punya banyak cerita. Cerita yang menarik, sangat menarik,” Kunti menarik nafas pelan, sengaja menggantung rasa penasaran Rindang.

“Kau bertahun hidup di perempatan ini, kau bahkan ada sebelum bang Somad—si pedagang rujak itu—berjualan disini. Kau seharusnya tahu, Ijah, yang lugu itu, yang berjualan gado-gado, diam-diam naksir si Somad tapi ia masih berpacaran dengan penjaga loket parkir di pintu barat mall. Itu alasan kenapa Somad diusir petugas tramtib kemarin. Petugas itu masih sepupu si petugas loket.”

“Haaaa? Dari mana kau tahu, Kunti?” Rindang setengah tidak percaya.

“Atau, karyawati yang sering datang dan minum es dawet Bang Kosim. Kau tahu siapa dia? Atau mengapa dia hampir tak pernah tak minum es dawet, kecuali musim hujan?”

Rindang makin tercengang.

“Karyawati itu dulunya adalah anak mantu Kosim. Sayang, pernikahannya tak berumur panjang. Suaminya, anak tertua Kosim, meninggal dalam kecelakaan. Saat itu, istrinya sedang hamil tua. Anak mereka, tentulah cucu si Kosim, kini dipelihara neneknya di kampung. Karyawati itu jatuh hati pada si Kosim yang memulihkannya dari duka, sama halnya Kosim. Tapi kau tahu, apa kata dunia terhadap hubungan cinta seperti itu?”

“Gila kamu, Kunti. Dari mana kau tahu semua cerita itu?”

“Setiap aku kesini, aku bukan saja bercerita hal-hal nun jauh disana. Aku mendengar cerita, jeritan hati manusia, yang hidup mengais rejeki di sekitar perempatan ini.” Kunti tersenyum. “Kau sudah mengerti mengapa aku mengatakan, bila saja kau lebih sensitif, Rin?”

Rindang tak berani membantah, Kunti benar sepenuhnya.

“Kau memiliki tubuh yang tinggi, kau bisa melihat lebih jauh, sudut-sudut tersembunyi dari perempatan ini. Kau memiliki tubuh yang besar, yang karena itu, banyak orang kecil datang dan mencari teduh atau menceritakan keluh kesah hidupnya di bawah ketiakmu. Mengapa kau tak pernah menyimak? Tidakkah kau tidak pernah bersyukur dengan anugerahmu?”

Skak mati! Rinda dibikin mati kudu. Lahir batin mati kutu.

“Aku? Kau tahu resiko apa yang kutempuh ketika pergi ke utara atau selatan? Aku menempuh kemungkinan diketapel anak-anak iseng yang baru pulang sekolah. Akan tetapi, aku memilih menempuhnya demi menggunakan anugrah yang diberikan. Aku pergi ke tempat yang lain agar menjadi saksi hal yang kini penting manakala manusia hanya sibuk dengan impiannya yang saling memangsa.”

Rindang menyadari betapa ia terlalu sibuk dengan kehidupan makhluk lain hingga abai dengan kemungkinan menjadi lebih bermakna sebagai dirinya sendiri.

“Terimakasih Kunti.” Hanya itu yang bisa diucapnya.

Kunti memeluk tubuh Rindang, di telinganya yang hijau, ia berbisik, “Manfaatkan waktumu, Sahabatku. Aku memiliki firasat yang tak enak. Tapi jangan cemas, kita masih diberi waktu.”

Rindang ingin bertanya lebih dalam. Kunti sudah pergi.

Sejak dialog yang penuh renungan itu, Rindang kini lebih ceria. Ia selalu menyambut hari dengan bergairah di tengah hiruk-pikuk perempatan. Rindang menjadi lebih sensitif, rajin menyimak cerita dan memperhatikan wajah-wajah manusia yang hilir mudik dan duduk di bawah rimbun dedaunnya.

Rindang kini tahu jika cinta yang ganjil seperti Kosim dan si karyawati itu bukan satu-satunya di perempatan ini. Ada Armin, petugas cleaning service yang jatuh hati pada ibu mertuanya, bu Arni, si penjaja jamu gendong. Rindang juga tahu jika si penjaga loket itu tak lagi bekerja di mall dan mengapa Ijah tak terlihat berdagang gado-gado. Bukan karena menikah. Ijah sudah tewas dan penjaga loket parker kini buronan polisi.

Berbulan-bulan, cerita dunia manusia yang ganjil itu disimpannya baik-baik. Bila Kunti datang, ia akan punya banyak sekali cerita. Mungkin lebih banyak dari cerita Kunti. Percakapan kita akan lebih berimbang, Kunti, harapnya dalam hati.

Kunti? Wah, sudah lama ia tidak kesini. Rindang baru menyadari, kesibukannya mengamati membuat ia tak lagi menanti kunjungan Kunti. Apa kabar sahabatku itu?

Rindang tidak pernah tahu. Ia tak sepenuh sadar dengan bisikan Kunti tentang firasatnya.

Sejak percakapan terakhir yang membuat Rindang menemukan arti hadirnya, Kunti tidak pernah kembali. Kunti telah ditembak mati anak-anak sekolah yang sedang buas membantai burung yang terbang di langit kota.

Hari itu, sebelum menjemput ajalnya, Kunti baru saja kembali dari sebuah perkantoran yang terletak di puncak menara komersil. Ia baru menyimak kesepakatan antara pemerintah kota dan pengembang. Ada pusat belanja baru yang hendak dibangun.

Dan itu berlokasi di sebuah taman tua dekat perempatan, tempat Rindang melewati masa kecil yang sepi dan terasing hingga menemukan sisa hari-harinya yang bermakna. Sebelum pembongkaran itu datang.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun