Kemurungan itu membuat wajahnya terlihat lesu. Sinar matanya layu. Ia kembali terkenang pada masa kecilnya yang kesepian sebelum Kunti datang. Perubahan ini tak luput dari mata tajam Kunti yang terlatih mengamati.
“Sahabatku, sudahi murung di wajahmu. Berbagilah denganku. Apa masalahmu?”
“Apakah kau tidak pernah berpikir, betapa tidak bergunanya hidup tertanam seperti ini? Bertahun-tahun diam di tempat yang sama, menyaksi pemandangan yang itu-itu saja. Bagaimana kau bertahan melewati kebosanan, Kunti?”
“Rindang, kenapa bisa kau bersaksi seperti itu? Tidakkah kau mengeluhkan sesuatu yang tak sepenuhnya kau pahami?”
“Apa maksudmu? Kau tahu apa dengan hidup yang menghabiskan hari dari satu hiruk pikuk ke hiruk pikuk yang sama di esok hari, berminggu-minggu, berbulan, dan bertahun-tahun? Kau tak pernah mengerti, kau bukan aku!” Rindang kesal dengan pertanyaan balik malah memberi luka pada kebosanannya.
“Hmmm. Kau cemburu dengan hidupku yang luwes kemana saja?” Kunti kini terdengar meledek. Rindang dibuatnya makin kesal. “Kau tahu,” kata Kunti lagi,”Kau mengabaikan satu anugerah yang penting. Kau ingat, anugrah yang penting.”
“Bila kau sensitif terhadap dunia manusia, kau jauh lebih punya banyak cerita. Cerita yang menarik, sangat menarik,” Kunti menarik nafas pelan, sengaja menggantung rasa penasaran Rindang.
“Kau bertahun hidup di perempatan ini, kau bahkan ada sebelum bang Somad—si pedagang rujak itu—berjualan disini. Kau seharusnya tahu, Ijah, yang lugu itu, yang berjualan gado-gado, diam-diam naksir si Somad tapi ia masih berpacaran dengan penjaga loket parkir di pintu barat mall. Itu alasan kenapa Somad diusir petugas tramtib kemarin. Petugas itu masih sepupu si petugas loket.”
“Haaaa? Dari mana kau tahu, Kunti?” Rindang setengah tidak percaya.
“Atau, karyawati yang sering datang dan minum es dawet Bang Kosim. Kau tahu siapa dia? Atau mengapa dia hampir tak pernah tak minum es dawet, kecuali musim hujan?”
Rindang makin tercengang.