Sejak dialog yang penuh renungan itu, Rindang kini lebih ceria. Ia selalu menyambut hari dengan bergairah di tengah hiruk-pikuk perempatan. Rindang menjadi lebih sensitif, rajin menyimak cerita dan memperhatikan wajah-wajah manusia yang hilir mudik dan duduk di bawah rimbun dedaunnya.
Rindang kini tahu jika cinta yang ganjil seperti Kosim dan si karyawati itu bukan satu-satunya di perempatan ini. Ada Armin, petugas cleaning service yang jatuh hati pada ibu mertuanya, bu Arni, si penjaja jamu gendong. Rindang juga tahu jika si penjaga loket itu tak lagi bekerja di mall dan mengapa Ijah tak terlihat berdagang gado-gado. Bukan karena menikah. Ijah sudah tewas dan penjaga loket parker kini buronan polisi.
Berbulan-bulan, cerita dunia manusia yang ganjil itu disimpannya baik-baik. Bila Kunti datang, ia akan punya banyak sekali cerita. Mungkin lebih banyak dari cerita Kunti. Percakapan kita akan lebih berimbang, Kunti, harapnya dalam hati.
Kunti? Wah, sudah lama ia tidak kesini. Rindang baru menyadari, kesibukannya mengamati membuat ia tak lagi menanti kunjungan Kunti. Apa kabar sahabatku itu?
Rindang tidak pernah tahu. Ia tak sepenuh sadar dengan bisikan Kunti tentang firasatnya.
Sejak percakapan terakhir yang membuat Rindang menemukan arti hadirnya, Kunti tidak pernah kembali. Kunti telah ditembak mati anak-anak sekolah yang sedang buas membantai burung yang terbang di langit kota.
Hari itu, sebelum menjemput ajalnya, Kunti baru saja kembali dari sebuah perkantoran yang terletak di puncak menara komersil. Ia baru menyimak kesepakatan antara pemerintah kota dan pengembang. Ada pusat belanja baru yang hendak dibangun.
Dan itu berlokasi di sebuah taman tua dekat perempatan, tempat Rindang melewati masa kecil yang sepi dan terasing hingga menemukan sisa hari-harinya yang bermakna. Sebelum pembongkaran itu datang.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H