Nenek Ida baru saja mengikat jukungnya ke batang kayu terapung. Diambilnya keranjang berukuran sedang, sambil duduk bersila, dirogohnya isi di dalam keranjang itu. Seekor ikan haruan berukuran telapak tangan orang dewasa hendak dibersihkan dengan pisau kecil yang juga disimpannya dalam keranjang yang sama.
Dua sisi tubuh haruan dibersihkan, lapisan licin lendir dikeluarkan. Pada bagian bawah insang, isi perut dibuang ke arus sungai kecoklatan debit airnya terus menurun dan mengalir tanpa riak. Kemudian dari bawah mulut yang pipih, mata pisau diarahkannya membelah hingga ke ekor. Haruan kini telah terbelah, daging putihnya menganga.
Sesudah beres satu, dirogohnya lagi haruan yang lain. Ada sepuluh ekor tangkapan kali ini. Di depan sana, seberang sungai dengan pepohonan yang tumbuh sama tinggi, senja merah yang hening turun menjumpai malam perlahan-lahan. Nenek Ida tahu, itu pertanda ia tak boleh berlama-lama. Ia harus segera melepas penatnya ke sungai dan naik ke rumah panggung.
Nenek Ida adalah generasi dari puak keturunan suku sungai yang masih mewarisi ilmu menangkap ikan sederhana. Seorang diri, orang setua dia bisa mendayung jukung, memotong arus sungai besar, menyusuri anak sungai dengan pepohonan besar yang tak jarang dipenuhi rombongan kecil Bekantan sedang bercengkrama di pucuk cabangnya.
Kadang-kadang, khususnya ketika kemarau memuncak, dalam rombongan kecil, paling banyak bersepuluh, kaum perempuan di kampungnya akan membawa batang kecil bambu, benang nilon serta kail dan memancing tak jauh dari desa hampir sepanjang hari tanpa peduli matahari sedang terik. Dengan perahu sedang bermesin, nenek Ida sering ikut dalam rombongan untuk mengumpulkan ikan apa saja yang bisa disantap keluarganya dan dijual.
Kalau musim memancing bersama ini sedang ramai, di perkampungan yang terbentuk oleh deretan rumah panggung di bibir sungai yang disatukan oleh jembatan papan, pada siang hari hanya ada kaum lelaki dengan anak-anak kecil.
***
“Yanto, ke warung Kai Ari dulu, ambilkan garam kasar dan beras sekilo Nak,” pinta nenek Ida.
Yanto baru saja menyalakan dua pelita tempel. Ia memutar pandangan, memeriksa kalau-kalau ada papan yang belum dipasang pada bingkai serupa jendela. Semua sudah rapi tertutup.
Di rumah dari kayu itu sudah lama ditempati nenek Ida berdua dengan cucunya, Yanto, yang baru kelas dua sekolah menengah pertama. Ia sedang disibuki dengan ulangan semester. Karena itu, nenek Ida melarang cucunya ikut mencari ikan.
“Nek, ini garam sama berasnya.”
Nenek Ida mengambil barang yang baru diutangnya ke warung Kai Ari. Kai Ari masih saudara seayah dengan almarhum suaminya. Yanto terus duduk di samping.
“Kamu belajar dulu, Nenek hendak menanak nasi dan menyiapkan lauk. Nanti kalau sudah siap, baru kita makan ya.”
Makan malam sesungguhnya kegiatan yang tidak lazim. Di kampung mereka, setiap rumah tangga selalu makan sebelum Magrib menjelang.
“Nek…”
“Iyaa, besok Nenek akan pulang lebih cepat. Tadi Nenek ketemu anak sungai yang banyak haruannya. Mudah-mudahan tiba kemarau, kita bisa dapat lebih banyak.”
Yanto terus ke ruang depan membawa satu pelita. Mengambil buku di dalam tasnya, ia mulai terbenam membaca.
Nenek Ida mengambil haruan lantas digaraminya di sebuah baskom plastik. Beras sekilo dipisahkannya menjadi dua bagian, bagian pertama dimasukkan ke dalam panci yang sudah diisi air sedang sisanya digantungnya di dinding dalam bungkusan plastik hitam. Ia membilasnya tiga kali beras di dalam panci keperakan dan meletakkan pada tatakan besi yang sejak tadi dipanasi oleh kayu bakar menyala.
Ikan haruan yang sudah digaraminya kemudian dipisah pula. Ia hanya mengambil dua ekor untuk dibakar. Sisanya disimpan untuk persediaan besok hari. Besok akan dijemur, dibikinnya menjadi ikan garam. Lebih awet dan tahan lama.
Sembari menunggu beras berubah wujud menjadi nasi siap disantap, nenek Ida menyusul Yanto di ruang depan. Nenek Ida sering menemani bocah SMP ini belajar. Sesekali, ia meminta Yanto membacakan deretan huruf dalam buku di depan cahaya yang remang.
“Belajar apa, Nak?”
“Matematika, Nek. Hitung-hitungan.”
Nenek Ida tahu, yang sedang dipelajari Yanto tidak bisa dibacakan. “Kapan kamu akan cerita tentang orangutan dan hutan di Kalimantan lagi?”
“Sesudah selesai ulangannya Nek. Minggu depan.”
Sehari-hari Yanto pergi ke sekolah dengan menumpang perahu sedang bermesin bersama teman-teman sebayanya. Mereka akan menyebrang sungai besar hingga tiba di kecamatan. Sekitar 15 menit pelayaran. Sekolahnya adalah SMP Satu Atap.
Di sekolahnya, ia tergolong anak yang cerdas. Sejak kelas dua, ia sudah menjadi delegasi sekolah dalam beberapa lomba setingkat kecamatan. Prestasi ini membuatnya mendapat keringanan biaya sekolah. Keringanan yang sama untuk nenek Ida yang hanya kemampuan bertahan hidup dengan mencari ikan di anak-anak sungai.
Sejak suaminya wafat sepuluh tahun yang lalu, nenek Ida tak lagi bisa berladang sendiri. Dia juga tak bisa terlalu berharap pada Yanti, anak perempuan satu-satunya yang hanya bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit. Uang dari Yanti yang juga menjanda di usia muda hanya cukup untuk membiayai sekolah Yanto.
“Yang penting Yanto bisa punya ijazah SMA, Mak.”
Kata Yanti suatu ketika, sebelum memutuskan menjalani hidup sebagai buruh. Sejak itu juga, Yanto diasuhnya dengan harapan masa depan yang sama. Yang penting punya ijazah SMA.
Dan Yanto memenuhi harapan ibu dan neneknya. Sesudah lulus, ia menyusul ibunya ke perkebunan sawit, menemani hidup sebagai buruh yang sama.
Sedang nenek Ida memilih tetap tinggal di rumah panggung yang dindingnya terus melapuk.
“Saya tidak ingin meninggal jauh dari sungai dan jukung.”
Jawaban itu membuat Yanto dan Yanti tak lagi membujuknya. Uang kiriman keduanya kini lebih dari cukup untuk hidup nenek Ida. Enam bulan sekali, mereka berdua pulang ke kampung.
***
“Oke, jadi siapa yang akan duluan menanggapi cerita pendek barusan?”
Andi kemudian berdiri. “Saya, Pak.”
“Menurut saya, cerita Meneruskan Takdir cukup memikat dalam pelukisan latar besar tradisi dalam potret seorang keluarga kecil dengan dua perempuan dan seorang anak lelaki. Hanya saja, elemen konfiktual, atau kontras emosional kurang terbangun. Nada fatalismenya terlalu kuat,” terang Andi, mengambil nafas, kemudian melanjutakan,”Gaya bercerita seperti itu mungkin sukses menghadirkan atmosfir—saya sebut saja-- Realisme Melankoli. Tapi realisme seperti itu sudah usang dan lebih pas hidup dalam ide-ide sinetron.
Maksud saya, ia tidak mendorong emansipasi, mengajak pembacanya mengenali struktur politik apa yang membuat sosok seperti nenek Ida masih ada di zaman seperti itu? Atau, mengapa struktur politik tertentu masih hidup dari kemiskinan masyarakat tepian sungai Kalimantan? Ini tantangan dalam cerpen itu. Tantangan yang, entah, enggan dimasuki penulis atau, lebih buruk lagi, tidak disadarinya.”
Si pembuat cerpen hanya mencatat sembari mengangguk kepalanya.
“Ada tanggapan kritis yang lain, selain kritik Realisme Sosial yang baru disampaikan Andi? Belum ada? Silahkan ditanggap balik, Hadi,” pesan suara yang pertama membuka kesempatan berdiskusi. Ia dosen pengampu mata kuliah Gugus Aliran dalam perkembangan Sastra Indonesia.
“Terimakasih Bung Andi. Saya suka kritiknya yang keras dan langsung menciptakan kesan cerita ini hanyalah sampah. Saya akan jelaskan pena-pelan,” sanggah Hadi kemudian.
“Pertama, saya kira untuk masuk pada estetika sastra Realisme Sosial, si penulis harus hidup dalam pengalaman yang dicerpenkan dirinya. Bukan pengalaman yang semata hasil observasi berperanserta, lebih parah lagi, studi kepustakaan di ruang-ruang dngin dan tertutup. Apa masalahnya?”
Hening. 15 kepala di dalam ruangan sedang serius menggerakan logikanya.
“Karena, si penulis tidak pernah bisa menghadirkan suasana emosi yang konkrit, real, dan bisa menjerat rasa sedih atau kemarahan pembaca. Atau modalitas yang dibutuhkan dalam mempengaruhi audiens agar bertindak terhadap kenyataan yang menyedihkan itu. Perkara struktur politik mengapa tidak diungkap, itu justru akan menimbulkan keragu-raguan, terlebih pada pembaca yang mudah sekali membelah diri karena perseteruan politik yang dungu, seperti akhir-akhir ini.”
“Berarti, kau menulis untuk melibatkan diri dalam budaya pop?” Andi ingin memastikan teori Hadi.
“Ya, saya hendak masuk ke dalam hiruk pikuk budaya pop, dengan audiens yang secara emosi mudah galau, secara nalar mudah seragam. Cerpen yang “terlalu bersemangat emansipatif” akan gagal, itu kalau kau berkehendak menggelorakan api Realisme Sosial,” pungkas Hadi.
“Cerita pendek Meneruskan Takdir adalah kisah hidup faktual saya sendiri dengan sedikit dibubuhi fiksi. Itu cerpen yang kalian bisa sebut mini-biography. Saya berasal dari suku sungai, dibesarkan dua perempuan luar biasa. Perjuangan mereka membuat saya bisa berdiri disini, bisa bergaul ide dengan penulis-penulis besar sastra, dan menggunakan cara mereka memahami cerita keseharian,” tambahnya lagi.
“Saya ingin member bobot Realisme Etnografis kedalam Realisme Sosial. Bukan sebagai ide tandinga, namun sebatas memperkuat kapasitas literer dalam karya cerpen barusan. Bila tidak, seperti ide Andi, saya merasa jika Realisme Sosial menjadi asal berpihak dan marah-marah, maka ia membuat cerpen jatuh derajat seburuk pamflet politik.”
Andi tak lagi bicara. Seluruh peserta diskusi tidak berkata-kata. Si dosen bertepuk tangan.
***
[2017. DAS Katingan, Kalteng, Maret]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H