Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diskusi Meneruskan Takdir

23 Maret 2017   12:40 Diperbarui: 24 Maret 2017   16:00 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

***

“Oke, jadi  siapa yang akan duluan menanggapi cerita pendek barusan?”

Andi kemudian berdiri. “Saya, Pak.”

“Menurut saya, cerita Meneruskan Takdir cukup memikat dalam pelukisan latar besar tradisi dalam potret seorang keluarga kecil dengan dua perempuan dan seorang anak lelaki. Hanya saja, elemen konfiktual, atau kontras emosional kurang terbangun. Nada fatalismenya terlalu kuat,” terang Andi, mengambil nafas, kemudian melanjutakan,”Gaya bercerita seperti itu mungkin sukses menghadirkan atmosfir—saya sebut saja-- Realisme Melankoli. Tapi realisme seperti itu sudah usang dan lebih pas hidup dalam ide-ide sinetron. 

Maksud saya, ia tidak mendorong emansipasi, mengajak pembacanya mengenali struktur politik apa yang membuat sosok seperti nenek Ida masih ada di zaman seperti itu? Atau, mengapa struktur politik tertentu masih hidup dari kemiskinan masyarakat tepian sungai Kalimantan? Ini tantangan dalam cerpen itu. Tantangan yang, entah, enggan dimasuki penulis atau, lebih buruk lagi, tidak disadarinya.”

Si pembuat cerpen hanya mencatat sembari mengangguk kepalanya.

“Ada tanggapan kritis yang lain, selain kritik Realisme Sosial yang baru disampaikan Andi? Belum ada? Silahkan ditanggap balik, Hadi,” pesan suara yang pertama membuka kesempatan berdiskusi. Ia dosen pengampu mata kuliah Gugus Aliran dalam perkembangan Sastra Indonesia.

“Terimakasih Bung Andi. Saya suka kritiknya yang keras dan langsung menciptakan kesan cerita ini hanyalah sampah. Saya akan jelaskan pena-pelan,” sanggah Hadi kemudian.

“Pertama, saya kira untuk masuk pada estetika sastra Realisme Sosial, si penulis harus hidup dalam pengalaman yang dicerpenkan dirinya. Bukan pengalaman yang semata hasil observasi berperanserta, lebih parah lagi, studi kepustakaan di ruang-ruang dngin dan tertutup. Apa masalahnya?”

Hening. 15 kepala di dalam ruangan sedang serius menggerakan logikanya.

“Karena, si penulis tidak pernah bisa menghadirkan suasana emosi yang konkrit, real, dan bisa menjerat rasa sedih atau kemarahan pembaca. Atau modalitas yang dibutuhkan dalam mempengaruhi audiens agar bertindak terhadap kenyataan yang menyedihkan itu. Perkara struktur politik mengapa tidak diungkap, itu justru akan menimbulkan keragu-raguan, terlebih pada pembaca yang mudah sekali membelah diri karena perseteruan politik yang dungu, seperti akhir-akhir ini.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun