Nenek Ida tahu, yang sedang dipelajari Yanto tidak bisa dibacakan. “Kapan kamu akan cerita tentang orangutan dan hutan di Kalimantan lagi?”
“Sesudah selesai ulangannya Nek. Minggu depan.”
Sehari-hari Yanto pergi ke sekolah dengan menumpang perahu sedang bermesin bersama teman-teman sebayanya. Mereka akan menyebrang sungai besar hingga tiba di kecamatan. Sekitar 15 menit pelayaran. Sekolahnya adalah SMP Satu Atap.
Di sekolahnya, ia tergolong anak yang cerdas. Sejak kelas dua, ia sudah menjadi delegasi sekolah dalam beberapa lomba setingkat kecamatan. Prestasi ini membuatnya mendapat keringanan biaya sekolah. Keringanan yang sama untuk nenek Ida yang hanya kemampuan bertahan hidup dengan mencari ikan di anak-anak sungai.
Sejak suaminya wafat sepuluh tahun yang lalu, nenek Ida tak lagi bisa berladang sendiri. Dia juga tak bisa terlalu berharap pada Yanti, anak perempuan satu-satunya yang hanya bekerja sebagai buruh harian di perkebunan sawit. Uang dari Yanti yang juga menjanda di usia muda hanya cukup untuk membiayai sekolah Yanto.
“Yang penting Yanto bisa punya ijazah SMA, Mak.”
Kata Yanti suatu ketika, sebelum memutuskan menjalani hidup sebagai buruh. Sejak itu juga, Yanto diasuhnya dengan harapan masa depan yang sama. Yang penting punya ijazah SMA.
Dan Yanto memenuhi harapan ibu dan neneknya. Sesudah lulus, ia menyusul ibunya ke perkebunan sawit, menemani hidup sebagai buruh yang sama.
Sedang nenek Ida memilih tetap tinggal di rumah panggung yang dindingnya terus melapuk.
“Saya tidak ingin meninggal jauh dari sungai dan jukung.”
Jawaban itu membuat Yanto dan Yanti tak lagi membujuknya. Uang kiriman keduanya kini lebih dari cukup untuk hidup nenek Ida. Enam bulan sekali, mereka berdua pulang ke kampung.