Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

State of Play, Demokrasi dan Kebablasan

23 Februari 2017   12:51 Diperbarui: 23 Februari 2017   22:00 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: the global review magazine - WordPress.com

Kebabalasan itu kelewatan. Perilaku yang telah melewati batas normal, normatif, atau batas yang logis. Perilaku atau kecenderungan perilaku kolektif untuk bertindak di luar koridor yang baik-baik, yang seharusnya, yang seidealnya. Sebab itu, bisa dibilang, yang perayaan kebabalasan adalah senjakala keteraturan, moral, dan yang masuk akal.

Misalnya saja. Kalau Anda bagian dari masyarakat fans dalam kehidupan politik yang terkubu-kubu. Anda pro penuh pada satu figure atau blok politik dan sepenuh benci dan jijik pada figure lain beserta politiknya. Tidak ada yang benar pada mereka dan sebaliknya, pada kubu Anda tidak pernah ada kesalahan.

Walhasil, laman facebook atau twitter menjadi majalah dinding—yang sama bermakna dikelola oleh kesadaran serta emosi semirip remaja labil, baru melihat pucuk daun, bercerita seisi hutan!-- yang ramai dengan puja-puji dan dukungan tak bersyarat atau olok-olok dan rasa muak tak berujung. Dua kutub diametral ini selalu hanya dan hanya selalu terlihat hitam dan putih. Tentu saja, Anda di arsiran berwarna putih. Anda bersama rombongan yang selamat dunia akhirat.

Satu fundamental yang Anda abaikan adalah posisi sebagai fans: selalu berdiri di luar panggung.

Panggung selalu memiliki tiga dimensi: dunia di depan panggung, dunia di atas panggung dan dunia di balik panggung. Tiga susunan dunia ini bukan semata bermakna tiga jenis “lakon” yang harus dimainkan. Ia juga menyembunyikan tiga jenis relasi kuasa yang dirawat.

Kuasa inti tentu saja terletak di balik panggung. Seperti apa kuasa di balik pangung?

Cobalah untuk menonton film State of Play (2009) yang diperankan Ben Affleck dan Russel Crowe. Dua sahabat sekamar zaman sekolah hingga yang pertama menjadi senator bernama Stephan Collins dan kedua mengabdi sebagai jurnalis media cetak bernama Cal McAffrey.

Kisah State of Play dimulai dari matinya seorang kriminal kecil dan tertembaknya seorang pengantar pizza pada sebuah malam yang basah. Berurutan dengan itu, matinya seorang perempuan muda yang bekerja sebagai staf ahli pada sang senator. Si rekan jurnalis mula-mula tertarik pada kematian misterius yang membawanya masuk pada “bukan peristiwa kriminal harian”. Gambar pertama ini bisa disebut sebagai dunia depan panggung, dunia orang-orang biasa yang terjebak dalam kondisi yang tidak sepenuhnya disadari.

Pada sisi yang berbeda,pada dunia yang bergulat dalam ruang-ruang rapat berpendingin dengan manusia-manusia berdasi, rambut kelimis, dan sepatu mengkilap, sang senator sedang menjadi bintang bersinar dalam persidangan yang menginventasi sebuah kontraktor keamanan swasta. Sang senator mencium aroma tidak sedap, sejenis kehendak untuk memonopoli system keamanan kedalam kuasa kekuatan korporasi/swasta. Sidang-sidang ini, tentu saja, menyedot antusiasme kuli berita.

Gambar kedua bisa dikategorikan sebagai dunia di atas panggung dimana para pelaku kunci, aktor utama, memainkan lakon demi mencapai kepentingan politiknya.

Usut punya usut, tiga kematian itu tidak berdiri sendiri. Si perempuan muda terlibat asmara dengan senator, tentu saja. Perempuan muda itu ternyata adalah agen yang diselundupkan korporasi untuk mematai-matai kinerja senator yang celakanya memberi posisi kunci sebagai kepala tim peneliti. Sedangkan si jurnalis, yang hidup sendiri, pernah tidur dengan istri senator, justru menyediakan dirinya untuk membantu rekan sekolahnya dulu.

Puncak cerita dihantarkan oleh pengakuan publik senator  tentang skandal asmaranya dan permainan kotor kontraktor keamanan swasta yang berpengalaman terlibat dalam perang di kawasan Timur Tengah. Namun yang paling mendebarkan adalah master mind dari tiga rangkaian pembunuhan itu si senator sendiri. Sebagai mantan pasukan, ia menggunakan jasa temannya, eks militer yang “sakit jiwa” dengan judul-judul keras esprit de corp’s dan facisco-patriotisme.

Gambar terakhir inilah yang sesungguhnya merupakan dunia di balik panggung. Dunia dimana hanya ada beberapa orang yang menjadi master mind, kepala gurita yang mengatur permainan.

Bagaimanakah kebabalasan dicandrai dalam tiga lapis dunia di atas?

Atau, pertanyaan yang lebih tajam adalah yang disebut kebabalasan itu perisitiwa (event) yang berdiri sendiri atau berkelindan secara rumit alias menular dan memiliki inti penyebar sebagaimana kekerasan itu tumbuh dari dalam negara dan menular ke masyarakat sipil sebagaimana tesis Hannah Arendt?

Saya lebih percaya pada tesis Arendt.

Kebabalasan itu memiliki produsennya dalam pertarungan kekuasaan di dalam negara. Medan tarungnya bisa politik praktis atau perebutan kontrol ekonomi dan bisnis. Media sosial atau jurnalisme baru gemar sensasi yang gaduh oleh kesadaran awam yang, entah mengapa setia merelakan diri menjadi petengkar politik di pantat kekuasaan, tidak patut menjadi kambing hitam utama. Kebablasan di media sosial hanyalah ekspresi paling liar yang memang niscaya di era “kuasa kecepatan, perayaan pendangkalan, pemujaan sensasi alias matinya subyek”.

Pada contoh dari State of Play, tindakan melampaui batas alias bablas itu terjadi di tiga dunia. Jangan lupakan, State of Play berlatar besar demokrasi liberal ala Amerika bukan bersetting negara otoriter. Kriminal kecil yang mencuri untuk bertahan hidup, perempuan muda yang terlibat skandal asmara sesudah menjadi pion korporasi, korporasi yang berusaha memonopoli system keamanan dan menyingkirkan peran negara, serta politisi cemerlang yang menghalalkan segala usaha untuk menghilangkan jejaknya dalam skandal. Hanya si jurnalis yang selamat dan menjadi penyelamat publik dengan menyediakan informasi yang membantu publik mengambil keputusan yang tepat. Ia selamat karena tidak bawa-bawa perasaan dalam melakukan investigasi.

Dari tiga tindakan bablas ini, kita tahu, master mind-nya a.k.a kekuatan yang bekerja di balik panggung, selalu tidak mudah terjamah dan lekas terlihat oleh mata atau kesadaran yang mendidik logikanya dengan jenis berita harian kategori straight news dan persebaran meme atau kabar jenis fake news.

Bagaimanakah melihat faktualitas dari contoh kebablasan itu? Atau, apakah demokrasi bisa kebablasan sebagaimana dicemaskan Presiden belum lama ini?

Saya kurang setuju.

Hemat saya, demokrasi hanya bergelora dari kehendak untuk mencapai tujuan-tujuan bersama sebagai res publica, rasionalitas yang berbasis tujuan. Tujuan-tujuan ini dicapai oleh kesepakatan-kesepakatan yang rasional, pilihan-pilihan yang rasional, melalui dialog-dialog yang setara, bebas paksaaan dan melalui tegaknya hukum. Moralisme ikut di dalamnya karena pada setiap yang tegak sebagai moralitas hanya mungkin oleh persetujuan rasionalitas. Inilah inti kemanusiaan, arti penting publik dalam politik, dan alas an utama mengadanya demokrasi.

Satu penggal sejarah yang mungkin diabaikan dari transisi demokrasi kita adalah model demokrasi yang disebut Arief Budiman sebagai transplantasi. Maksudnya adalah sesudah kejatuhan negara orde baru, kekuatan yang baru muncul tidak cukup solid untuk mengendalikan situasi sedang saat bersamaan kekuataan lama yang sebelumnya hidup dari rezim tumbang masih cukup tangguh.

Situasinya tidak memungkinkan untuk konfrontasi total. Harus kompromi.

Dalam kondisi seperti ini, demokrasi hanya mungkin bermakna jika terbangun aksi nyata, contoh yang kongkrit, teladan nyata, dan pencapaian-pencapaian tujuan yang bisa dikonfirmasi oleh produk politik paska otoritarian. Karena itu, ia melampuai sekedar rutinitas pemilu yang memilih orang-orang yang itu-itu saja: sesudah suami, istri lanta anak, kemudian cucu hingga cicit.

Kebutuhan fundamental ini jelas tidak bisa dibebankan jalan pemenuhannya kepada publik atau rombongan the man in the street.

Akselerator untuk membuat demokrasi bermakna harus dimulai dari inti elit politik yang: sudahkah bisa melawan ambisi membangun oligarki atau centeng dari jaring kuasa global? Sudahkah bisa membedakan arti negarawan dan sekedar politisi kacangan yang kritisismenya tergantung pada blok siapa dia berkubu?

Sudahkah mampu memutus gairah menjadikan kekuasaan sebagai urusan warisan keluarga tujuh generasi? Sudahkah jujur mendefinisikan mandat rakyat sebagai daulat politik dan bukan sekedar stempel cap untuk berkuasa demi diri sendiri dan partai?

Saya kira kita semua tahu jawabannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun