Satu penggal sejarah yang mungkin diabaikan dari transisi demokrasi kita adalah model demokrasi yang disebut Arief Budiman sebagai transplantasi. Maksudnya adalah sesudah kejatuhan negara orde baru, kekuatan yang baru muncul tidak cukup solid untuk mengendalikan situasi sedang saat bersamaan kekuataan lama yang sebelumnya hidup dari rezim tumbang masih cukup tangguh.
Situasinya tidak memungkinkan untuk konfrontasi total. Harus kompromi.
Dalam kondisi seperti ini, demokrasi hanya mungkin bermakna jika terbangun aksi nyata, contoh yang kongkrit, teladan nyata, dan pencapaian-pencapaian tujuan yang bisa dikonfirmasi oleh produk politik paska otoritarian. Karena itu, ia melampuai sekedar rutinitas pemilu yang memilih orang-orang yang itu-itu saja: sesudah suami, istri lanta anak, kemudian cucu hingga cicit.
Kebutuhan fundamental ini jelas tidak bisa dibebankan jalan pemenuhannya kepada publik atau rombongan the man in the street.
Akselerator untuk membuat demokrasi bermakna harus dimulai dari inti elit politik yang: sudahkah bisa melawan ambisi membangun oligarki atau centeng dari jaring kuasa global? Sudahkah bisa membedakan arti negarawan dan sekedar politisi kacangan yang kritisismenya tergantung pada blok siapa dia berkubu?
Sudahkah mampu memutus gairah menjadikan kekuasaan sebagai urusan warisan keluarga tujuh generasi? Sudahkah jujur mendefinisikan mandat rakyat sebagai daulat politik dan bukan sekedar stempel cap untuk berkuasa demi diri sendiri dan partai?
Saya kira kita semua tahu jawabannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H