Puncak cerita dihantarkan oleh pengakuan publik senator tentang skandal asmaranya dan permainan kotor kontraktor keamanan swasta yang berpengalaman terlibat dalam perang di kawasan Timur Tengah. Namun yang paling mendebarkan adalah master mind dari tiga rangkaian pembunuhan itu si senator sendiri. Sebagai mantan pasukan, ia menggunakan jasa temannya, eks militer yang “sakit jiwa” dengan judul-judul keras esprit de corp’s dan facisco-patriotisme.
Gambar terakhir inilah yang sesungguhnya merupakan dunia di balik panggung. Dunia dimana hanya ada beberapa orang yang menjadi master mind, kepala gurita yang mengatur permainan.
Bagaimanakah kebabalasan dicandrai dalam tiga lapis dunia di atas?
Atau, pertanyaan yang lebih tajam adalah yang disebut kebabalasan itu perisitiwa (event) yang berdiri sendiri atau berkelindan secara rumit alias menular dan memiliki inti penyebar sebagaimana kekerasan itu tumbuh dari dalam negara dan menular ke masyarakat sipil sebagaimana tesis Hannah Arendt?
Saya lebih percaya pada tesis Arendt.
Kebabalasan itu memiliki produsennya dalam pertarungan kekuasaan di dalam negara. Medan tarungnya bisa politik praktis atau perebutan kontrol ekonomi dan bisnis. Media sosial atau jurnalisme baru gemar sensasi yang gaduh oleh kesadaran awam yang, entah mengapa setia merelakan diri menjadi petengkar politik di pantat kekuasaan, tidak patut menjadi kambing hitam utama. Kebablasan di media sosial hanyalah ekspresi paling liar yang memang niscaya di era “kuasa kecepatan, perayaan pendangkalan, pemujaan sensasi alias matinya subyek”.
Pada contoh dari State of Play, tindakan melampaui batas alias bablas itu terjadi di tiga dunia. Jangan lupakan, State of Play berlatar besar demokrasi liberal ala Amerika bukan bersetting negara otoriter. Kriminal kecil yang mencuri untuk bertahan hidup, perempuan muda yang terlibat skandal asmara sesudah menjadi pion korporasi, korporasi yang berusaha memonopoli system keamanan dan menyingkirkan peran negara, serta politisi cemerlang yang menghalalkan segala usaha untuk menghilangkan jejaknya dalam skandal. Hanya si jurnalis yang selamat dan menjadi penyelamat publik dengan menyediakan informasi yang membantu publik mengambil keputusan yang tepat. Ia selamat karena tidak bawa-bawa perasaan dalam melakukan investigasi.
Dari tiga tindakan bablas ini, kita tahu, master mind-nya a.k.a kekuatan yang bekerja di balik panggung, selalu tidak mudah terjamah dan lekas terlihat oleh mata atau kesadaran yang mendidik logikanya dengan jenis berita harian kategori straight news dan persebaran meme atau kabar jenis fake news.
Bagaimanakah melihat faktualitas dari contoh kebablasan itu? Atau, apakah demokrasi bisa kebablasan sebagaimana dicemaskan Presiden belum lama ini?
Saya kurang setuju.
Hemat saya, demokrasi hanya bergelora dari kehendak untuk mencapai tujuan-tujuan bersama sebagai res publica, rasionalitas yang berbasis tujuan. Tujuan-tujuan ini dicapai oleh kesepakatan-kesepakatan yang rasional, pilihan-pilihan yang rasional, melalui dialog-dialog yang setara, bebas paksaaan dan melalui tegaknya hukum. Moralisme ikut di dalamnya karena pada setiap yang tegak sebagai moralitas hanya mungkin oleh persetujuan rasionalitas. Inilah inti kemanusiaan, arti penting publik dalam politik, dan alas an utama mengadanya demokrasi.