Tapi hatinya mudah tersedu di depan perpecahan bangsa; bahaya di pusat nation-buildingnya dulu.
Seperti kala menerima senjakalanya sendiri.
Aku rasa ia akan menangis, Kamerad.
Tapi tolong, kesedihan biarlah menyimpan sesaknya pada kalian sahaja.
Sedang kamarmu itu,
ketika waktu memaksa keris dan peci Bung Besar semakin lusuh
tetaplah membuka jendelanya:
lidah api Putera Fajar yang membakar lemah cinta tanah airku.
[Kota Hujan, Penghujung November 2016]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!