Kematian telah pula bertamu di senja perlawananmu, Kamerad!
Di kamar, ketika tarian pergi dari jalanan, harum cerutu berkabung.
Bersama keris dan peci, titipan Bung Besar.
Serta sejarah yang akan menjadi jendela ke masa lalu.
Apa yang akan kalian percakapkan disana?
Nasihat Bung Besar tepat adanya,
bahwa melawan dikte adidaya, kemandirian adalah syarat mula-mula?
Lalu kau akan mengingatkan,
“Aku menjalankan pesanmu, Bung!
Dan lihatlah, kami diembargo, aku diancam ratusan usaha pembunuhan yang kekanakan,
diktator adalah aku, pelanggar hak azasi di pinggir tentakel kapitalisme.
Kuba masih tak mati, sejarah perlawanan tidak berhenti Bung!
Tidak bermakna bagi mereka jika keras kepalaku membela Palestina. Bahkan kala bencana,
rezim despotik ini mengirim kemanusiaan ke negerimu.
Tidak mengirim komunisme. Aku tetap saja terkutuk terakhir yang menentang dominasi Barat.”
Tanyakan Kamerad, apa yang terjadi dengan tanah tumpah darahnya?
Tanyakan juga bagaimana dengan anak-anak bangsanya hari ini?
Generasi hidup di masa tenang. Miskin renungan kaya kegaduhan,
merayakan kebebasan di bunuh diri tanggungjawab, ramai perselisihan di tiang gantung argumentasi,
rapuh perbedaan dalam ketakutan dialog. Dan marah fitnah lekas membakar kepala.
Politik membusuki dirinya setiap pemilu. Hukum mengasah diri tajam ke bawah.
Bung Besar akan terdiam, bukan?
Dia memang tangguh api pada gelap kolonialisme:
jalan pengasingan derita yang membentuk keberanian menertawakan mati.
Kehendak merdeka yang selalu membakar hati jelata di setiap rapat akbar
Meremukkan bisu dinding penjara.