Di Youtube, misalnya.
Ada banyak video produk yang ditampilkan, orang juga hanya perlu tersambung koneksi internet untuk menyaksikannya. Ada beberapa video memiliki ongkos produksi lebih tinggi—artinya kualitas gambarnya lebih bagus, misalnya—tetapi, kata Berger, kebanyakan video yang mewabah justru yang buram, tidak fokus, dan dibuat oleh amatir (hal 8).
Kenapa bisa? Tanya kenapa?
Dari pertanyaan ini, Berger juga menggugat mitos hubungan otomatis antara keramaian percakapan di dunia digital/online (al: facebook, twitter, dll) tentang satu produk atau gagasan maka keramaian yang sama akan terjadi di dunia nyata (offline).
Menurut saya, Berger sedang bicara tentang produk, gagasan, atau perilaku yang menggerakan orang-orang. Bukan sekadar ramai di percakapan online.
Konon, manusia hari ini merelakan waktu online rata-rata dua jam, para pengguna sosial media juga mengalami ledakan. Di Indonesia, menurut Kata Data, jumlah penggunaan smartphone bahkan lebih banyak dari angka jumlah penduduk, tapi Berger meyakini manusia masih lebih banyak menghabiskan waktu dengan percakapan offline.
Artinya, untuk membuat popular sebuah produk atau gagasan dan menggerakkan orang-orang, ada basis sosial real yang harus digarap. Dalam bahasa Berger, ada kekuatan transmisi sosial yang harus disadari dan digarap. Ada yang namanya getok tular.
Berger meyakini getok tular adalah faktor yang bekerja dibalik 20 hingga 50 persen keputusan untuk belanja!
Apa sih getok tular itu?
Akar serabut getok tular adalah kebiasaan manusia untuk bercerita atau berbagi kesaksiannya. Misalnya saja ketika Mba Aryani Na bercerita tentang tujuan wisata yang dahsyat di Lombok kepada teman-temannya di facebook atau lewat Kompasiana. Atau ketika Pakde Bambang Setyawan bercerita tentang sisi-sisi yang humanis dan penuh persaudaraan tentang kota Salatiga lewat Kompasiana.
Atau, kasus saya aja deh.