Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hal Terbaik di 8 Tahun Kompasiana

24 Oktober 2016   11:49 Diperbarui: 24 Oktober 2016   12:08 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sebenarnya saya menyiapkan tiga draft tulisan untuk merayakan 3 tahun perjalanan dalam 8 tahun kehadiran Kompasiana. Yang pertama berkedok sosiologis, kedua berlagak filosofis. Syukur sekali, sesudah mengalami "ritus plung", saya memutuskan tidak jadi.

Keluarlah dari model begituan dan menulislah untuk menghadirkan kelegaan yang kini mahal, wahai jiwa yang kini jijik pada televisi paska perginya Vonny!

Mari, Preend, dengan hati riang gembira senang sentosa senantiasa seperti pesan Om Ninoy yang sudah jarang menulis, sudilah membaca napak tilas ini.

Kemunculan pertama saya di Kompasiana langsung dengan buncah pongah di dada. Ya gimana tidak, tulisan berjudul Globalization of Nothing yang merupakan catatan buku atas karya Ritzer itu langsung diganjar Headline, Coys.

Manusia jenis Nomad, Udik dan Skeptik yang sekarang bergeser dengan motto Menulis adalah Merayakan Akhir Pekan bisa langsung masuk daftar tulisan terpandang di kemunculan perdana yang tak pernah diniatkan. Seolah pendatang baru yang menjanjikan, seolah calon penerima Rookie of the Year kalau di NBA dan diajak kencan oleh Megan Fox.

Ironisnya, headline perdana ini justru menjadi masalah. Sesudah kesan perdana yang begitu menggoda, menciptakan headline berikutnya adalah perkara yang lebih sulit dari mencari jarum asmara ditumpukan sobek kenanganmu. Hikhikhik.

Apa musababnya?

Ya, karena saya masih seperti menulis tugas zaman kuliah. Tugas-tugas yang menjenuhkan, membosankan yang diulang serta sarat kesuraman. Seperti tubuh dipapar mencret, makin dilayani, makin lemas sendiri.

Diperparah lagi, tahun itu, saya masih sok jaim, malas berkomentar dan belagu dalam kekukuhan standar tentang tulisan apa yang pantas disimpan dalam kepala dan apa yang secepat mungkin, abaikan!

Akibatnya paling membunuh yang segera dirasa adalah harus menanggung akibat dari idealisme pada anak muda yang kata Cicero, sering kayak manusia mabuk: abai sadar diri tapi nantang kemana-mana! Menjadi jenis manusia yang berteriak lantang di dalam tempurung jaimnya. Sungguh, ini melelahkan.

Maka, satu-satu jalan adalah menghancurkan sumber kelelahan itu! Apalagi yang lebih baik? Yang lebih mahal banyaak.

Saya mulai dengan menghancurkan kelakuan jaim-jaim sok menjaga standar ini lewat taktik numpang tenar.

Pertama, pada ramai balas-balas fiksi DesoL dan Prof. Pebrianov, saya bikin artikel yang mendukung ramai-ramai itu. Dari aksi pertama ini, saya masih ingat kalau selain dua nama yang berjibaku itu, Mba Mike adalah salah satu yang pertama menyapa saya. Makasih Mba Mike, hehehe.

Kedua, tulisan itu juga, yang hanya lewat dari status pantas dipajang pada laman highlight padahal judulnya sok serius, dikerjakan untuk menanggapi Om Guru Felix Tani.

Saat-saat itu, Om Guru sudah dikenal karena kuliah metlit kualitatif. Om Felix juga menghadirkan gagasan-gagasan Geertz dalam kritik-kritiknya secara lihai sementara saya sendiri pernah memiliki “pengalaman muntah-muntah” dengan antroplog yang membuat fungsionalisme mati gaya.

Betapa cari muka dan kekanakannya: jika mau tenar, kritik mereka yang sudah punya nama. Ini juga akan memberi citra orang berpikir kritis—yang kelihatan buruk sekali sekarang ini di televisi—sehingga menciptakan kekaguman dan rasa segan. #Preet.

Hal menarik lainnya, dalam musim bertarung menghancurkan imej diri gak mutu yang membuat saya kehilangan makna sharing and connecting, saya pernah diundang sebagai pembicara mewakili warga dalam diskusi di KompasianaTV.

Waktu itu saya memang sering sekali membahas Jokowi dan dinamika politik di jagat digitalisme. Entah apa pertimbangannya, saya ditelpon dari Jakarta agar bersiap-siap menjadi pembicara online. Tapi saya tolak, pertama, karena takut salah bicara, kedua, takut menciptakan kebingungan tambahan.

Saya memang tak pernah PeDe dengan artikel politik sebab politik di Indonesia masih susah membedakan diri dari misteri. Saya buka dukun, Sayang. #Preetlagi.

Moment ketiga adalah dipilih Admin sebagai salah satu nominator pada Best Fiction tahun kemarin. Ini juga pencapaian yang bikin lupa daratan.

Entah bagaimana, tim Admin menilai jika fiksi-fiksi saya adalah bentuk karya yang dipermanis dengan ide-ide filsafat. #Gubrak.

Sejujurnya sih saya terluka dengan penyimpulan begini. Filsafat tidak pernah seperti komestika kecuali ia sedang cari muka. Selain itu, saya merasa tidak menulis fiksi. Malah terbalik, saya justru sedang mengungkap kegelisahan diri dan sosial dalam cara memaknai filosofis-sosiologis dengan metode fiksi. (Tuh kan, balik ke pembelaan imej diri lagi. Dih! Jadi sudah benar Admins menilai begitu)

Maka kalau dirangkum napak tilas ini: HL pada tulisan perdana, diundang sebagai pembicara warga di KompasianaTv, dan masuk dalam nominasi Best Fiction tahun kemarin. Jiwa lebay mana yang tak bunggah bangga dan butuh pegangan? Omong kosong kalau mengaku tidak.

Tapi pointnya bukan itu. Insya Allah bukan begitu.

Saya hendak berterimakasih yang tinggi untuk teman-teman K’ers yang mendukung dengan kesetiaan membaca cerita-cerita yang sesungguhnya, behind the scene-nya, masih sering berjibaku dengan inkonsistensi. Ya, inkonsistensi alias ketidakmampuan untuk setia menulis asik dan setia menjadi bermakna. Termasuk setia membaca karya K’ers dengan sungguh-sungguh.

Karena itu juga, yang kini mendesak-desak sebagai pertanyaan di saya adalah apa sebenarnya moment terbaikmu jika “pengakuan-pengakuan positif Admins dan K’ers di atas” justru tidak selalu mudah dihargai dengan konsistensi yang keras hati dalam berkarya dang menghargai karya?

Menjadi Kompasianer, Meniti Jalan Pencaharian 

Mari mulai dengan pertanyaan: rupiahkan saja seberapa banyak pulsa data kau habiskan? Hitung saja seberapa banyak kesal yang kau endapkan karena errror berulang? Juga tambahkan saja seberapa dalam gundah geram merana yang menghantammu ketika tulisan hanya lewat begitu saja?

Jumlahkan juga seberapa sepi yang kau derita di depan lapak sunyi karena angkuh diri yang merasa akan tercemar jika terlalu berakrab-akrab komentar? Kalikan saja sesetia apa kau menguatkan diri terus bertahan online karena kangen ketawa-ketiwi sementara kompi harus mati sebab petir sedang menyala-nyala di jendela kamar?

Kau tidak akan bisa menjumlahkannya Coy! Ini semua bukan rumus menghitung penerimaan negara dari Tax Amnesty.

Ini semua adalah semesta pengalaman yang hanya bisa digulati sendiri. Pengalaman yang dalam bahasa Tan Malaka, terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk. Ini memang serupa dialektika (diri) yang tidak pernah selesai.

Dalam rangkain inkonsistensi menulis bermutu cum tiga moment dihargai itu, saya tahu bahwa menjadi penulis di blog warga adalah memilih jalan menemukan diri bersama etik berbareng daan berbagi.

Pandu jalan apa yang harus diacu? Pembelajaran dari mana yang pertama kali harus diikuti?

Tidak usah jauh mencari. Di Kompasiana sudah banyak tersedia. Saya sebut satu model saja.

Yakni pada model bercerita warga alas kaki, warga tanpa judul diri macam-macam, warga yang tanpa imej-imej ribet di kepala, warga yang hanya ingin menulis sebagai cara berbagi.

Warga seperti ini bisa jadi adalah serupa emak-emak yang menulis seperti ramai percakapan yang berkumpul di sebuah pagi, ketika penjaja sayur tiba di sebuah kompleks, sementara di balik tikungan, Prof. Pebrianov sedang menatap tanpa kedip.

Warga seperti ini bisa juga adalah kumpulan bapak yang sedang resah di warung kopi dengan percakapan-percakapan sehari-hari yang mungkin berulang di tempat namun tidak kehilangan rasa sosialnya terhadap hidup bersama yang lebih baik dan karena itu mereka menulis.  

Saya belajar pada mereka semua. Positifnya, menjadi harus gemar kuadrat dalam melakukan pencaharian dan eksperimen.  

Misalnya saat menulis di kanal Fiksi. Eksperimen yang bukan saja pada ide namun juga cara menyatakannya. Menyebut beberapa saja, di kanal inii, fiksi mati yang mengguncang kebekuan moral, surelismenya yang indah, yang kental pembelaan atas suasana pedesaan, ada kemahiran flash fiction yang selalu bikin kaget, juga yang selalu dengan cerpen tutur lembut nan puitis. Jangan lupakan, ada yang tak pernah pergi dari romantisme yang membunuh siapa saja lewat puisi-puisinya. 

Sama halnya ketika sedang kumat menulis yang serupa opini, saya melakukan eksperimen pada teknik menarasikannya. Silahkan saja periksa sendiri, tersedia banyak sekali model yang bisa ditiru. Pun dalam reportase warga, saya bisa menemukan banyak tulisan yang bisa dijadikan guru menulis digital. Inti dari semuanya adalah ada panggilan untuk menelusuri petualangan dalam eksperimen menulis. Tinggal selalu membuka diri belajar atau mati dalam sendiri. Soal yang ini, asli, saya belajar pada pesan-pesan Opa Tjipta dan Guru Jati. 

Hanya saja, satu yang terasa hilang adalah tiadanya keramaian tengah malam dari Gerombolan Kalonger's.

Prend, tidak tahu kapan eksperimen dan peniruan ini berhenti. Sama tidak tahunya akan berhasil menuntun pada jalan pelahiran atau tidak.

Satu-satunya yang saya tahu, dalam pergaulan digital di Kompasiana, di depan suara-suara warga biasa yang luar biasa, saya akan selalu menjadi pemula yang disuruh terus belajar menulis dan membaca tulisan dengan sungguh. Tidak ada yang lebih terbaik dari ini. 

Oh ya, di Kompasiana, jangan sok jago. Jagoan yang menyamar disini banyak, percayalah!

Selamat berusia Sewindu Kompasiana! Terimakasih.  

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun