Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengapa Vonny Cornellya, Bukan Kamu?

14 Oktober 2016   22:42 Diperbarui: 15 Oktober 2016   06:31 1259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Om Guru Felix Tani barusan bilang kalau S Aji gagal revolusi. Saya tegaskan, revolusi memang mati muda di tangan saya. Karena itu, salam hormat selalu buat Ernesto “Che” Quevarra, Hasta La Siempre!

Ini bukan soal pemberontakan politik yang meruntuhkan omong kosong rezim kawan.

Ini hanya tentang percampuran ganjil antara penderitaan obsesif karena Vonny Cornellya dengan pandangan hidup Bruce Lee tentang kesadaran yang semengalir air dimana keduanya bersenyawa dalam teknik Narsisus Tekstual ala saya, menurut Om Guru Felix. Persenyawaan yang kemudian berdiri sendiri, selain anarkisme tekstual atau nudisme tekstual- Prof. Pebrianov, dan bikin suasana bisa tiba-tiba ramai.

Karena Vonny Cornellya dibawaserta, saya jadi kurang terima. Jadi terusik gitu.

Masalahnya sudah lama saya berjuang melupakan dia bersama malam-malam tanpa puisi. Sudah lama pula saya berusaha menggantinya dengan, sebut saja Dian Sastro, atau yang agak mutakhir, Maudy Ayunda, tokh tetap sia-sia. Saya lebih suram dari Sisifus, rasa-rasanya. #preet.

Om Guru Felix kok tega gitu? Hiks.

Tapi agar menjadi sedikit jelas duduk kenangan tentang artis yang memulai karir sebagai penyanyi, saya mau kasih tahu kalau Mas Sarwo Prasojo, The New Ahmad Tohari di Kompasiana, yang mungkin telah hijrah ke blog warga yang lain, juga menyimpan nostalgia akan Vonny. Juga si “Professor Tanpa Celana” itu, dia sama. Belakangan ini, dia malah paling sering nyebut-nyebut Vonny, dih! Ngajak pecah kongsi?

Intinya, status psikis kami sama, TAK BISA KE LAIN HATI (wong KLA Project saja bubar kok cuma warga jenis alas kaki seperti kami?)

Begini histori si Vonny, Prend.

Bagaimana bisa melupakan satu keindahan perempuan Nusantara dalam jejak awal kebudayaan sinetron Indonesia yang saat bersamaan kesadaran sedang jungkir balik mencari tahu: apa sebenarnya kebohongan terbesar yang diproduksi lewat jam-jam kuliah yang gemar mengulang hal yang sama?

Lantas manakala lelah mendera bersama rasa muak yang selalu gagal menjadi penentangan gagah berani sebab terus teringat jika ayah dan ibu adalah seorang guru rendahan, karena itu selalu tersedia rasa hormat pada staf pengajar, satu-satunya obat imajinatif-selera adalah melesap pesona Vonny Cornellya yang ketika memandang senyum tipisnya, teduh hadir sesaat?

Ups, tunggu dulu. Sangat bisa jadi, ini bukan obat imajinatif atas kemuakan. Itu jalan lain pelarian diri, di matamu!

Tiada mengapa. Yang jelas bersama sihir pesona Vonny di televisi, saya diajak berjumpa Herbert Mercuse, kemudian sedikit disibukkan dengan diskusi menuju One Dimensional Society.

Masyarakat Satu Dimensi, dalam ingat saya, adalah jenis masyarakat yang mengalami pematian sikap kritis karena segala yang dibutuhkan sudah disedikan oleh kuasa produksi industrial dimana pikiran efektif dan efisien berkuasa, menjadi inti dalam kebudayaan.

Masyarakat serupa ini, konon, memilih dalam pilihan yang sudah disediakan? Tidak ada ruang publik politis walau kafe dan kedai berjamur dimana suka. Ruang yang menjadi lokasi kultural bagi pelahiran wacana tandingan atas wacana yang dikontrol media massa arus utama!

So, kau hanya disuruh memilih Ahok, Anies atau Agus. Jangan pernah bayangkan kemungkinan lain!

Sama juga, jangan pernah bermimpi kau ikut mempengaruhi permainan berdasarkan artikel-artikel yang mereproduksi berita media saja. *Menyimpang dikit boleh kan? Weks*

Masyarakat sedemikian tidak lagi memikirkan kembali, mengapa harus efektif dan efisien? Mengapa globalisasi menyuruh manusia harus berkompetisi? Mengapa hidup sukses itu berkarir bagus,  berpendapatan tinggi, bergaya hidup wah dan bukan petani atau nelayan yang bau tanah dan asin air laut?

Masyarakat sedemikian juga tidak lagi curiga mengapa kekuasaan secara turun temurun isinya turunan GAM. Iya, G-A-M.

GAM dalam bahasa Om George Aditjondro adalah Geng Anak Menteng, Jakarta. Lihat saja turunan Geng Anak Menteng yang mengendalikan inti kuasa Republik sejak lama. Mereka seperti Jendral Tua yang pernah disebut Douglas MacArthur, tidak pernah mati, hanya menepi. 

Emangnya hidup tak berkompetisi, tak efektif, tak efisien itu bukan hidup kah? Bukan jenis manusia modern kah?

Siapa sesungguhnya yang mengambil untung dari semua mantra pendukung kemajuan di atas? Lantas, ketika kau, kau, kau, kalah dan terbuang dari seleksi kompetisi itu, harus ada Vonny di televisi? Hihihi.

Jadi, Vonny, yang lahir 14 Agustus 1979, artinya belum sepuh, bukanlah sebatas kenangan tentang tubuh dan pesona perempuan Nusantara. Bukan melulu tentang matanya yang jenaka, senyumnya yang tenang atau lembut suaranya yang meneduhkan.

Vonny adalah penggal narasi dalam sejarah kemuakan sebagai warga negeri postkolonial dimana praktik kolonial masih berlanjur dengan penyamaran structural yang canggih dimana-mana. Vonny juga adalah alasan dari masa lalu yang membuat saya selalu curiga pada sinetron hari ini (tentu saja zaman Vonny tidak!) dimana mekanisme pelarian diri dan pertunjukan kekerasan simbolik begitu telanjang.

Sudah jelas kalau Vonny Cornellya adalah kehadiran yang paradox, bagi saya. Hadirnya adalah…..dia yang kini tak lagi ada sesudah membebaskan saya.

Cieeeeh, serius sekali! Curhat pakai bawa Mercuse. Ckckck.

Gimana Om Guru Felix, saya sudah ikut menyuarakan jerit pinggiran atau belum nih?   

Tidur dulu, sungguh capek lahir batin menghabiskan waktu untuk sekedar log in.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun